Oleh
: Achmad Afandi
Kenangan yang selalu diingat umat
Islam terhadap peristiwa hijrahnya Rasulullah saw. dari kota Makkah ke
Madinah. Peristiwa itu menjadi tonggak kebangkitan umat Islam di era awal
kelahirannya ketika Rasulullah saw. sedang meletakkan sendi-sendi kehidupan
sosial umat Islam di Madinah. Jika dibaca dalam shirah nabawiyah akan
tampak betapa Rasulullah saw. pada saat itu sedang melakukan satu revolusi
sosial yang cukup dahsyat. Hasil revolusi sosial itupun akhirnya
benar-benar berhasil sehingga memunculkan satu sistem kehidupan sosial umat
Islam yang luar biasa.
Paling tidak ada 5 landasan sistem
kehidupan sosial yang dibangun oleh Rasulullah saw. sat itu, yaitu :Pertama, al-ukhuwah
al-imaniyah yaitu rasa persaudaraan antar kaum mukminin tanpa memandang
bani, suku dan banhkan bangsa. Semua orang yang beriman di manapun berada
adalah saling bersaudara. Landasan ukhuwah imaniyah adalah QS: al-Hujurat
(49): 10 yaitu :
Sesungguhnya orang-orang mukmin
adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah
kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.
Dengan landasan ayat itulah Rasulullah
saw. mempersaudarakan kaum muhajirin dan anshar ketika sampai di kota Madinah
saat hijrah. Untuk itu, seharusnya umat Islam sekarang pun mempunyai
sikap seperti itu, menjadikan semua kaum mukminin di manapun berada sebagai
saudara yang betul-betul saudara dan ikatannya lebih kuat bahkan dengan saudara
sedarah pun yang berbeda keyakinan.
Kedua, al-musawwah
yaitu sikap egaliterime atau memandang semua manusia dalam kehidupan sosial
adalah sederajat dan sama kedudukan di mata Allah swt. Yang membedakan di
antara manusia satu dengan yang lain hanyalah tingkat ketakwaannya kepada Allah
swt. Untuk itu tidak pantas jika umat islam yang mempunyai kekayaan,
jabatan, status sosial dan kedudukan memandang orang lain lebih rendah dari
dirinya sehingga selalu minta dihargai dan dihormati secara berlebihan. Lihat
QS: al-Hujurat (49): 13 artinya: Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan
kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang
yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Mengenal.
Landasan kehidupan sosial Ketiga
adalah at-ta’awwun yaitu sikap kepedulian dengan sesama
manusia, apalagi sesama kaum mukminin sehingga apabila ada di antara manusia
yang mengalami kesulitan segera saja ia memberkan pertolongan. Sikap suka
menolong kepada siapapun yang membutuhkan pertolongan adalah ciri khas umat Islam.
Untuk membangun kehidupan sosial yang penuh kebersamaan dan kesejahteraan, maka
sikap saling tolong menolong satu dengan yang lain dalam hal kebaikan harus
dikedepankan. Lihat QS: al-maidah (5): 2, artinya Dan
tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.
Kempat, at-tasammuh,
yaitu sikap toleraansi dalam berbagai kehidupan di antara sesama umat Islam
apapun agamanya. Sikap toleransi adalah sikap menghormati, menghargai dan
memberi kesempatan kepada siapapun dalam menjalankan kehidupan keberagamannya
dan tidak mengganggunya. Toleransi juga berarti tidak memaksakan ajaran
agama kepada siapapun untuk menerimanya. Jadi, sikap toleransi tidak berarti
menggabungkan nilai-nilai ajaran agama satu dengan yang lain, apalagi sampai
mencampuradukkannya dalam bentuk ritual-ritual keagamaan secara bersama-sama.
Lihat QS: al-Kafirun (109): 6, artinya: Untukmulah agamamu dan untukkulah
agamaku”.
Sistem kehidupan sosial
berikutnya yang kelima yaitu, al’adalah prinsip kehiduapn sosial
yang penuh dengan nilai-nilai keadailan. Nilai keadilan adalah sikap
memperlakukan siapapun sesuai dengan proporsinya. Lihat QS: an-Nahl (16): 90,
artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat
kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji,
kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat
mengambil pelajaran.
Lima landasan sistem kehidupan
sosial itulah yang mula-mula diletakkan Rasulullah saw. ketika mengawali
Pembangunan masyarakat Madinah. Hasilnya sungguh luar biasa, yaitu
munculnya tatanan masyarakat yang berperadaban tinggi, masyarakat Ideal dan
menjadi tauladan bagi siapapun. Semoga kita semua dapat menauladaninya
dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Aamiin.
*)Sekretaris
PDM Sleman danDosen
AIK UAD
Yogyakarta
Antara Malas dan Rajin Berpikir
Oleh: Mustofa
W Hasyim
Jika sebuah masjid, musholla atau
surau cenderung ini itu atau itu itu saja kegiatannya maka ada kecenderungan
kalau takmir bersama jamaahnya miskin ide. Miskin ide atau miskin gagasan ini
dapat menjadi penyakit akut sebuah kelompok masyarakat. Takmir bersama
jamaahnya bias kompak dalam menjalankan jurus malas berfikir. Akibat (1) malas
berfikir maka mereka juga akan (2) malas menemukan masalah, (3) malas
memecahkan masalah dan (4) malas mencari terobosan serta (5) malas
mengembangkan visi ke depan. Kelima jenis kemalasan ini jelas akan menjadi
biang keladi kemunduran dan keterpurukan takmir dan jamaah. Juga akan
mengakibatkan terjadinya keterpurukan masjid, musholla atau surau itu sendiri.
Bentuk kemunduran, atau keterpurukan masjid, musholla atau surau ini adalah,
jamaahnya akan makin sedikit, mretheli, sampai akhirnya masjid, musholla atau
surau menjadi sepi dan senyap.
Islam melarang keras umatnya untuk
malas. Maka ada doa meminta pertolongan kepada Allah agar kita semua dijauhkan
dari kemalasan dan sifat malas. Mengapa Islam sangat melarang umatnya malas?
Sebab malas merupakan salah satu bntuk kekufuran, sedang giat atau rajin
merupakan bentuk kesyukuran. Di alam akhirat nanti, pasca terjadinya Kiamat,
Allah swt tidak mau menemui atau bertemu dengan orang-orang malas. Mereka yang
malas tidak mendapat kesempatan bertemu, apalagi akan menemukan kenikmatan
terbesar dalam hidup seorang muslim, yaitu dapat menyaksikan kehadirn Allah
swt.
Malas berfikir, dengan demikian
juga dilarang oleh Islam. Banyak firman Allah yang memerintahkan kita untuk
berfikir dan mempergunakan nalarnya dengan baik. Orang yang malas berfikir akan
kehilangan kepekaannya (sensifitas) terhadap masalah. Mereka tidak peka
terhadap masalah yang muncul dalam kehidupan sehari-hari.
Mereka tidak lagi mampu menemukan
masalah. Sesuatu yang sebenarnya masalah dan oleh orang lain dianggap masaalh,
bag orang malas ini, semuanya omong kosong belaka. Seolah-olah segalanya tampak
ancer-lancar saja.
Karena kehilangan kepekaaan
terhadap masalah, dan kehilangan kemampuan untuk menemukan masalah maka mereka
kemudian juga malas, bahkan tidak mampu untuk membayangkan upaya penyelesaian
masalah. Kemampuannya untuk menyelesaikan masalah menjadi lemah dan akhirnya
nihil. Padahal kemampuan manusia yang sanagt diperlukan untuk mempertahankan
dan mengembangkan hidup adalah kemampuan untuk menyelesaikan masalah.
Kemudian, orang yang malas berfikir
akan kemampuan untuk melakukan terobosan. Mereka juga tidak lagi kreatif dan
tidak lagi memiliki kecerdasan membuka kemungkinan-kemungkinan baru. Otak meeka
telah dikepung oleh tembok tebal. Otak mereka telah diblokad oleh hal-hal yang
sebenarnya tidak perlu.
Tentu saja, orang yang malas ke
depan akan cenderung kehilangan kemampuannya merumuskan visinya ke depan.
Mereka seolah-olah tidak mampu melihat esik hari dan tidak mampu melihat masa
depan. Mereka sibuk dengan masalah sehari-hari, masalah yang bersifat hari ini.
Biasanya mereka pun cendrung hanya mempersoalkan hal yang remeh temeh. Itu saja
mereka anggap sebagai masalah besar. Kalau toh kemudian muncul ide atau
gagasan, maka yang muncul pun ide atau gagasna yang remeh temeh dan tidak
berarti.
Kalau semua bentuk kemalasan di
atas menumpa takmir dan jamaah masjid, musholla dan surau, ini menjadi pertanda
nyata bahwa masa depan mereka akan suram. Mereka yang terperangkap oleh madesu
(masa depan suram) ini jelas akan menjadi pihak yhang kalah, mereka jelas akan
menjadi pecundang di masa depan. Berarti mereka telah mengingkari atau
mengkhianati pesan dalam adzan yang sehari-hari lima kali mereka dengarkan.
Dalam kalimat atau teks adzan ka nada kalimat yang bunyinya, “marilah kita
mdenuju kemenangan (hayya ‘alal falaah)”.
Tentu saja sebaliknya juga yang
akan terjadi. Kalau saja takmir bersama jamaah masjid, musholla atau surau mau
menjalankan perintah agama Islam dengan sebaik-baiknya maka nasib mereka akan
lain. Kalau mereka (1) rajin dan lincah berfikir maka mereka akan (2) mudah
menemukan masalah, (3) mudah memecahkan masalah dan (4) mudah mencari terobosan
serta (5) mudah mengembangkan visi ke depan.
Takmir dan jamaah model kedua ini
akan mudah untuk memajukan dirinya. Nasib mereka akan beruntung. Mereka akan
menjadi para pemenangan di masa depan. Mereka menjadi pemenang atas waktu dan
ruang. Mereka senantiasa mampu mengatasi masalah dan tantangan yang muncul di
hari ini dan di masa depan.
Ini semua dapat dilihat secara
nyata pada bentuk fisik, suasana dan kegiatan yang diselenggarakan di masjid,
musholla dan surau kita masing-masing. Pilih yang mana? Risiko jelas ditanggung
sendiri.
Sumber: Suara suara Muhammadiyah