Jumat, 25 Januari 2019

Landasan Kehidupan Sosial

Oleh : Achmad Afandi
Kenangan yang selalu diingat umat Islam terhadap peristiwa hijrahnya Rasulullah saw. dari kota Makkah ke Madinah.  Peristiwa itu menjadi tonggak kebangkitan umat Islam di era awal kelahirannya ketika Rasulullah saw. sedang meletakkan sendi-sendi kehidupan sosial umat Islam di Madinah.  Jika dibaca dalam shirah nabawiyah akan tampak betapa Rasulullah saw. pada saat itu sedang melakukan satu revolusi sosial yang cukup dahsyat.  Hasil revolusi sosial itupun akhirnya benar-benar berhasil sehingga memunculkan satu sistem kehidupan sosial umat Islam yang luar biasa.

Paling tidak ada 5 landasan sistem kehidupan sosial yang dibangun oleh Rasulullah saw. sat itu, yaitu :Pertama, al-ukhuwah al-imaniyah yaitu rasa persaudaraan antar kaum mukminin tanpa memandang bani, suku dan banhkan bangsa. Semua orang yang beriman di manapun berada adalah saling bersaudara.  Landasan ukhuwah imaniyah adalah QS: al-Hujurat (49): 10 yaitu :
Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.

Dengan landasan ayat itulah Rasulullah saw. mempersaudarakan kaum muhajirin dan anshar ketika sampai di kota Madinah saat hijrah.  Untuk itu, seharusnya umat Islam sekarang pun mempunyai sikap seperti itu, menjadikan semua kaum mukminin di manapun berada sebagai saudara yang betul-betul saudara dan ikatannya lebih kuat bahkan dengan saudara sedarah pun yang berbeda keyakinan.

Kedua, al-musawwah yaitu sikap egaliterime atau memandang semua manusia dalam kehidupan sosial adalah sederajat dan sama kedudukan di mata Allah swt.  Yang membedakan di antara manusia satu dengan yang lain hanyalah tingkat ketakwaannya kepada Allah swt.  Untuk itu tidak pantas jika umat islam yang mempunyai kekayaan, jabatan, status sosial dan kedudukan memandang orang lain lebih rendah dari dirinya sehingga selalu minta dihargai dan dihormati secara berlebihan. Lihat QS: al-Hujurat (49): 13 artinya: Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.

Landasan kehidupan sosial Ketiga adalah  at-ta’awwun yaitu sikap kepedulian dengan sesama manusia, apalagi sesama kaum mukminin sehingga apabila ada di antara manusia yang mengalami kesulitan segera saja ia memberkan pertolongan.  Sikap suka menolong kepada siapapun yang membutuhkan pertolongan adalah ciri khas umat Islam.  Untuk membangun kehidupan sosial yang penuh kebersamaan dan kesejahteraan, maka sikap saling tolong menolong satu dengan yang lain dalam hal kebaikan harus dikedepankan.  Lihat QS: al-maidah (5): 2, artinya Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.
Kempat, at-tasammuh, yaitu sikap toleraansi dalam berbagai kehidupan di antara sesama umat Islam apapun agamanya.  Sikap toleransi adalah sikap menghormati, menghargai dan memberi kesempatan kepada siapapun dalam menjalankan kehidupan keberagamannya dan tidak mengganggunya.  Toleransi juga berarti tidak memaksakan ajaran agama kepada siapapun untuk menerimanya. Jadi, sikap toleransi tidak berarti menggabungkan nilai-nilai ajaran agama satu dengan yang lain, apalagi sampai mencampuradukkannya dalam bentuk ritual-ritual keagamaan secara bersama-sama. Lihat QS: al-Kafirun (109): 6, artinya: Untukmulah agamamu dan untukkulah agamaku”.

Sistem kehidupan sosial  berikutnya yang kelima yaitu, al’adalah prinsip kehiduapn sosial yang penuh dengan nilai-nilai keadailan.  Nilai keadilan adalah sikap memperlakukan siapapun sesuai dengan proporsinya. Lihat QS: an-Nahl (16): 90, artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.

Lima landasan sistem kehidupan sosial itulah yang mula-mula diletakkan Rasulullah saw. ketika mengawali Pembangunan masyarakat Madinah.  Hasilnya sungguh luar biasa, yaitu munculnya tatanan masyarakat yang berperadaban tinggi, masyarakat Ideal dan menjadi tauladan bagi siapapun.  Semoga kita semua dapat menauladaninya dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Aamiin.

*)Sekretaris PDM Sleman danDosen
AIK UAD Yogyakarta


Antara Malas dan Rajin Berpikir
Oleh: Mustofa W Hasyim
Jika sebuah masjid, musholla atau surau cenderung ini itu atau itu itu saja kegiatannya maka ada kecenderungan kalau takmir bersama jamaahnya miskin ide. Miskin ide atau miskin gagasan ini dapat menjadi penyakit akut sebuah kelompok masyarakat. Takmir bersama jamaahnya bias kompak dalam menjalankan jurus malas berfikir. Akibat (1) malas berfikir maka mereka juga akan (2) malas menemukan masalah, (3) malas memecahkan masalah dan (4) malas mencari terobosan serta (5) malas mengembangkan visi ke depan. Kelima jenis kemalasan ini jelas akan menjadi biang keladi kemunduran dan keterpurukan takmir dan jamaah. Juga akan mengakibatkan terjadinya keterpurukan masjid, musholla atau surau itu sendiri. Bentuk kemunduran, atau keterpurukan masjid, musholla atau surau ini adalah, jamaahnya akan makin sedikit, mretheli, sampai akhirnya masjid, musholla atau surau menjadi sepi dan senyap.
Islam melarang keras umatnya untuk malas. Maka ada doa meminta pertolongan kepada Allah agar kita semua dijauhkan dari kemalasan dan sifat malas. Mengapa Islam sangat melarang umatnya malas? Sebab malas merupakan salah satu bntuk kekufuran, sedang giat atau rajin merupakan bentuk kesyukuran. Di alam akhirat nanti, pasca terjadinya Kiamat, Allah swt tidak mau menemui atau bertemu dengan orang-orang malas. Mereka yang malas tidak mendapat kesempatan bertemu, apalagi akan menemukan kenikmatan terbesar dalam hidup seorang muslim, yaitu dapat menyaksikan kehadirn Allah swt.
Malas berfikir, dengan demikian juga dilarang oleh Islam. Banyak firman Allah yang memerintahkan kita untuk berfikir dan mempergunakan nalarnya dengan baik. Orang yang malas berfikir akan kehilangan kepekaannya (sensifitas) terhadap masalah. Mereka tidak peka terhadap masalah yang muncul dalam kehidupan sehari-hari.
Mereka tidak lagi mampu menemukan masalah. Sesuatu yang sebenarnya masalah dan oleh orang lain dianggap masaalh, bag orang malas ini, semuanya omong kosong belaka. Seolah-olah segalanya tampak ancer-lancar saja.
Karena kehilangan kepekaaan terhadap masalah, dan kehilangan kemampuan untuk menemukan masalah maka mereka kemudian juga malas, bahkan tidak mampu untuk membayangkan upaya penyelesaian masalah. Kemampuannya untuk menyelesaikan masalah menjadi lemah dan akhirnya nihil. Padahal kemampuan manusia yang sanagt diperlukan untuk mempertahankan dan mengembangkan hidup adalah kemampuan untuk menyelesaikan masalah.
Kemudian, orang yang malas berfikir akan kemampuan untuk melakukan terobosan. Mereka juga tidak lagi kreatif dan tidak lagi memiliki kecerdasan membuka kemungkinan-kemungkinan baru. Otak meeka telah dikepung oleh tembok tebal. Otak mereka telah diblokad oleh hal-hal yang sebenarnya tidak perlu.
Tentu saja, orang yang malas ke depan akan cenderung kehilangan kemampuannya merumuskan visinya ke depan. Mereka seolah-olah tidak mampu melihat esik hari dan tidak mampu melihat masa depan. Mereka sibuk dengan masalah sehari-hari, masalah yang bersifat hari ini. Biasanya mereka pun cendrung hanya mempersoalkan hal yang remeh temeh. Itu saja mereka anggap sebagai masalah besar. Kalau toh kemudian muncul ide atau gagasan, maka yang muncul pun ide atau gagasna yang remeh temeh dan tidak berarti.
Kalau semua bentuk kemalasan di atas menumpa takmir dan jamaah masjid, musholla dan surau, ini menjadi pertanda nyata bahwa masa depan mereka akan suram. Mereka yang terperangkap oleh madesu (masa depan suram) ini jelas akan menjadi pihak yhang kalah, mereka jelas akan menjadi pecundang di masa depan. Berarti mereka telah mengingkari atau mengkhianati pesan dalam adzan yang sehari-hari lima kali mereka dengarkan. Dalam kalimat atau teks adzan ka nada kalimat yang bunyinya, “marilah kita mdenuju kemenangan (hayya ‘alal falaah)”.
Tentu saja sebaliknya juga yang akan terjadi. Kalau saja takmir bersama jamaah masjid, musholla atau surau mau menjalankan perintah agama Islam dengan sebaik-baiknya maka nasib mereka akan lain. Kalau mereka (1) rajin dan lincah berfikir maka mereka akan (2) mudah menemukan masalah, (3) mudah memecahkan masalah dan (4) mudah mencari terobosan serta (5) mudah mengembangkan visi ke depan.
Takmir dan jamaah model kedua ini akan mudah untuk memajukan dirinya. Nasib mereka akan beruntung. Mereka akan menjadi para pemenangan di masa depan. Mereka menjadi pemenang atas waktu dan ruang. Mereka senantiasa mampu mengatasi masalah dan tantangan yang muncul di hari ini dan di masa depan.
Ini semua dapat dilihat secara nyata pada bentuk fisik, suasana dan kegiatan yang diselenggarakan di masjid, musholla dan surau kita masing-masing. Pilih yang mana? Risiko jelas ditanggung sendiri.
Sumber: Suara suara Muhammadiyah