Sah-sah saja mengungkapkan kalimat
mesra di samping setelah ijab-qobul dinyatakan. Setelah menikah, istri memang
menjadi milik suami, begitupun sebaliknya. Keduanya disatukan oleh sebuah
ikatan yang kuat, mitsaqan ghalidza. Sebuah ikatan yang menghalalkan
jiwa dan raga masing-masing untuk pasangannya.
Cinta, kasih dan perhatian harus
menyatu untuk menyongsong masa depan. Hanya saja, ikatan nikah bukanlah akad
yang melebur hak kepemilikan atas suatu harta. MOU dalam nikah hanya mengikat
suami untuk memberikan nafkah lahir dan batin kepada istri serta mu’asyarah
bil ma’ruf, dan istri menaati suami dalam hal yang ma’ruf. Artinya, status
kepemilikan harta masing-masing tidak lantas sama sekali melebur; milikku jadi
milikkmu dan milikmu jadi milikku. Perpindahan tangan atas hak milik suatu
harta disyaratkan adanya kerelaan dari pemiliknya atau ketentuan lain.
Allah berfirman;
“Tidak halal bagi kamu mengambil kembali
sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka.” (QS. al Baqarah: 229)
“Jika mereka (istri-istri kamu) menyerahkan
dengan penuh kerelaan sebagian mas kawin mereka kepadamu, maka terimalah
pemberian tersebut sebagai harta yang sedap dan baik akibatnya.” (QS. an Nisa’: 4).
Ayat ini menegaskan bahwa istri berhak
atas hartanya sendiri. Dalam ayat ini, harta tersebut berupa mahar yang
diterimanya dari suami. Harta mahar itu mutlak menjadi miliknya. Demikian pula
harta yang ia terima sebagai nafkah dari suami, atau harta warisan dari
orangtuanya, atau ia peroleh dari bekerja.
Syaikh asy -Syinqithi menjelaskan
bahwa harta wanita adalah miliknya pribadi. Ia berhak mengelolanya sesuai
keinginan. Suami tidak berhak turut campur apalagi mengambil paksa. Sebab ada
beberapa kasus, suami mengambil paksa semua harta istri yang diperoleh dari
usahanya. Ini jika istri mampu mengelola hartanya dengan benar; tidak boros dan
dihambur-hamburkan. Adapun jika istri tidak rasyidah (bijak) dalam
mengelola hartanya, suami berhak ikut mengendalikan. Dasarnya adalah ayat 4
surat an nisa’. (Syarhul Mustaqni’ li Syinqithi VII/311).
Pun demikian pula harta suami.
Selain harta yang diberikan kepada istri sebagai nafkah, hak milik suatu benda
yang dibeli suami tetap menjadi miliknya. Istri tidak berhak mengambil alih hak
kepemilikannya tanpa seijin suami. Kecuali jika suami tidak mencukupi kebutuhan
keluarga, barulah istri berhak mengambilnya, bahkan meski dengan cara mengambil
diam-diam. Seperti istri Abu Sufyan yang sampai harus mencuri harta suaminya
karena saking pelitnya sang suami, pada saat itu, untuk mencukupi kebutuhannya.
Disebutkan dalam hadits;
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha
berkata, Hindun Ibu Muawiyah berkata kepada Rasulullah, “Abu Sufyan itu
orangnya sangat pelit. Bolehkah saya mengambil hartanya diam-diam? “ Rasulullah
bersabda, “ Ambillah yang bisa mencukupimu dan anak-anakmu dengan ma’ruf.” (HR.
Bukhari)
(Ma’ruf artinya kadar harta
yang diambil cukup untuk menutupi kebutuhan menurut standar umumnya orang).
Jadi, istri berhak atas hartanya,
suami juga berhak atas segala yang dimilikinya. Pemahaman mengenai hak harta
ini sangat diperlukan agar jangan sampai terjadi kezhaliman. Misalnya suami
menganggap bahwa harta istrinya adalah miliknya. Ia pun mengambil dan
menggunakannya tanpa ijin tanpa memedulikan isteirnya. Menurut Syaikh asy-Syinqiti
dalam lanjutan keterangan ayat di atas, perbuatan suami tersebut termasuk “aklu
amwalin nas bil bathil” memakan harta orang lain dengan cara yang batil.
Atau sebaliknya, merasa sudah
mendapat ijin dari Rasulullah, istri seenaknya saja menggunakan dan
mengakuisisi harta suami, padahal semua kebutuhannya telah dicukupi. Semua ini
dilarang. Namun begitu, jika suami atau istri ‘mencuri’ harta dari istri atau
suaminya, tidak lantas dikenai had potong tangan meskipun jumlahnya mencapai
nishab had.
Oleh karenanya, idealnya memang
harus ada pembagian yang jelas antara nafkah untuk istri pribadi, hal mana
harta tersebut akan menjadi miliknya, dengan anggaran untuk kebutuhan keluarga.
Fungsinya agar istri benar-benar nyaman ketika hendak menggunakan suatu harta
untuk keperluan pribadinya. Misalnya memberi uang saku untuk anak saudaranya
atau bersedekah. Bukankah wanita disuruh banyak-banyak sedekah? Rasulullah
bersabda:
“Wahai
para wanita, bersedekahlah karena aku lihat kalian menjadi mayoritas penduduk
neraka.” (HR. Bukhari )
Jadi, para istri berhak meminta
nafkah kepada suami dan menggunakannya sesuai keinginannya dengan baik.
Kalaupun toh pada akhirnya uang tersebut digunakan untuk memenuhi kebutuhan
keluarga, ya, memang seperti itulah yang dianjurkan. Bukankah orang yang paling
berhak menerima sedekah seorang istri adalah suami dan anak-anaknya?
Dalam lanjutan hadits di atas
dikisahkan bahwa setelah bersabda demikian, Zainab, istri Ibnu Mas’ud menemui
rasulullah dan berkata, “ Wahai Nabi Allah, hari ini Engkau memerintahkan
sedekah, saya punya perhiasan dan saya ingin menyedekahkannya. Tapi Ibnu Mas’ud
mengklaim bahwa Dia dan anak-anaknyalah yang paling berhak atas sedekah saya.”
Rasulullah bersabda, “ Ibnu Mas’ud benar. Suamimu dan anak-anakmu adalah orang
yang peling berhak menerima sedekahmu.”
Jadi meskipun harta tersebut kembali
lagi untuk keluarga, para istri bisa mendapat pahala sedekah. Benefitnya jadi
berlipat; kebutuhan keluarga tercukupi, istri mendapat pahala sedekah dari
Allah. Wallahua’lam.
Oleh:
Ust. Taufik Anwar- Arrisalah.com
Seorang wanita dinikahi karena
agamanya, hartanya & kecantikannya. Tetapi, utamakanlah agamanya, niscaya
kamu akan beruntung. (Abu Isa At Tirmidzi) Hadits semakna diriwayatkan dari Auf
bin Malik, Aisyah, Abdullah bin 'Amr & Abu Sa'id. Abu Isa berkata; Hadits
Jabir merupakan hadits hasan sahih.
[HR. Tirmidzi No.1006].
[HR. Tirmidzi No.1006].
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
bersabda, jika salah seorang dari kalian bersin, hendaknya mengucapkan
ALHAMDULILLAAHI RABBIL 'AALAMIIN (segala puji bagi Allah), & orang yang
menjawabnya mengucapkan YARHAMU KALLAAH (semoga Allah merahmatimu), kemudian ia
mengucapkan YAGHFIRULLAAHU LANAA WA LAKUM (semoga Allah mengampuni kami &
kalian). [HR.
Tirmidzi No.2664].
Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda: "Tidak halal bagi seseorang untuk memisahkan (tempat
duduk) dua orang kecuali atas izin keduanya."
Abu Isa berkata; Hadits ini hasan
shahih