Jumat, 15 Februari 2019

Bijak Mengelola Harta ala Istri Shalihah


Sah-sah saja mengungkapkan kalimat mesra di samping setelah ijab-qobul dinyatakan. Setelah menikah, istri memang menjadi milik suami, begitupun sebaliknya. Keduanya disatukan oleh sebuah ikatan yang kuat, mitsaqan ghalidza. Sebuah ikatan yang menghalalkan jiwa dan raga masing-masing untuk pasangannya.
Cinta, kasih dan perhatian harus menyatu untuk menyongsong masa depan. Hanya saja, ikatan nikah bukanlah akad yang melebur hak kepemilikan atas suatu harta. MOU dalam nikah hanya mengikat suami untuk memberikan nafkah lahir dan batin kepada istri serta mu’asyarah bil ma’ruf, dan istri menaati suami dalam hal yang ma’ruf. Artinya, status kepemilikan harta masing-masing tidak lantas sama sekali melebur; milikku jadi milikkmu dan milikmu jadi milikku. Perpindahan tangan atas hak milik suatu harta disyaratkan adanya kerelaan dari pemiliknya atau ketentuan lain.
Allah berfirman;
 “Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka.” (QS. al Baqarah: 229)
 “Jika mereka (istri-istri kamu) menyerahkan dengan penuh kerelaan sebagian mas kawin mereka kepadamu, maka terimalah pemberian tersebut sebagai harta yang sedap dan baik akibatnya.” (QS. an Nisa’: 4).
Ayat ini menegaskan bahwa istri berhak atas hartanya sendiri. Dalam ayat ini, harta tersebut berupa mahar yang diterimanya dari suami. Harta mahar itu mutlak menjadi miliknya. Demikian pula harta yang ia terima sebagai nafkah dari suami, atau harta warisan dari orangtuanya, atau ia peroleh dari bekerja.
Syaikh asy -Syinqithi menjelaskan bahwa harta wanita adalah miliknya pribadi. Ia berhak mengelolanya sesuai keinginan. Suami tidak berhak turut campur apalagi mengambil paksa. Sebab ada beberapa kasus, suami mengambil paksa semua harta istri yang diperoleh dari usahanya. Ini jika istri mampu mengelola hartanya dengan benar; tidak boros dan dihambur-hamburkan. Adapun jika istri tidak rasyidah (bijak) dalam mengelola hartanya, suami berhak ikut mengendalikan. Dasarnya adalah ayat 4 surat an nisa’. (Syarhul Mustaqni’ li Syinqithi VII/311).
Pun demikian pula harta suami. Selain harta yang diberikan kepada istri sebagai nafkah, hak milik suatu benda yang dibeli suami tetap menjadi miliknya. Istri tidak berhak mengambil alih hak kepemilikannya tanpa seijin suami. Kecuali jika suami tidak mencukupi kebutuhan keluarga, barulah istri berhak mengambilnya, bahkan meski dengan cara mengambil diam-diam. Seperti istri Abu Sufyan yang sampai harus mencuri harta suaminya karena saking pelitnya sang suami, pada saat itu, untuk mencukupi kebutuhannya. Disebutkan dalam hadits;
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, Hindun Ibu Muawiyah berkata kepada Rasulullah, “Abu Sufyan itu orangnya sangat pelit. Bolehkah saya mengambil hartanya diam-diam? “ Rasulullah bersabda, “ Ambillah yang bisa mencukupimu dan anak-anakmu dengan ma’ruf.” (HR. Bukhari)
(Ma’ruf artinya kadar harta yang diambil cukup untuk menutupi kebutuhan menurut standar umumnya orang).
Jadi, istri berhak atas hartanya, suami juga berhak atas segala yang dimilikinya. Pemahaman mengenai hak harta ini sangat diperlukan agar jangan sampai terjadi kezhaliman. Misalnya suami menganggap bahwa harta istrinya adalah miliknya. Ia pun mengambil dan menggunakannya tanpa ijin tanpa memedulikan isteirnya. Menurut Syaikh asy-Syinqiti dalam lanjutan keterangan ayat di atas, perbuatan suami tersebut termasuk “aklu amwalin nas bil bathil” memakan harta orang lain dengan cara yang batil.
Atau sebaliknya, merasa sudah mendapat ijin dari Rasulullah, istri seenaknya saja menggunakan dan mengakuisisi harta suami, padahal semua kebutuhannya telah dicukupi. Semua ini dilarang. Namun begitu, jika suami atau istri ‘mencuri’ harta dari istri atau suaminya, tidak lantas dikenai had potong tangan meskipun jumlahnya mencapai nishab had.
Oleh karenanya, idealnya memang harus ada pembagian yang jelas antara nafkah untuk istri pribadi, hal mana harta tersebut akan menjadi miliknya, dengan anggaran untuk kebutuhan keluarga. Fungsinya agar istri benar-benar nyaman ketika hendak menggunakan suatu harta untuk keperluan pribadinya. Misalnya memberi uang saku untuk anak saudaranya atau bersedekah. Bukankah wanita disuruh banyak-banyak sedekah? Rasulullah bersabda:
“Wahai para wanita, bersedekahlah karena aku lihat kalian menjadi mayoritas penduduk neraka.” (HR. Bukhari )
Jadi, para istri berhak meminta nafkah kepada suami dan menggunakannya sesuai keinginannya dengan baik. Kalaupun toh pada akhirnya uang tersebut digunakan untuk memenuhi kebutuhan keluarga, ya, memang seperti itulah yang dianjurkan. Bukankah orang yang paling berhak menerima sedekah seorang istri adalah suami dan anak-anaknya?
Dalam lanjutan hadits di atas dikisahkan bahwa setelah bersabda demikian, Zainab, istri Ibnu Mas’ud menemui rasulullah dan berkata, “ Wahai Nabi Allah, hari ini Engkau memerintahkan sedekah, saya punya perhiasan dan saya ingin menyedekahkannya. Tapi Ibnu Mas’ud mengklaim bahwa Dia dan anak-anaknyalah yang paling berhak atas sedekah saya.” Rasulullah bersabda, “ Ibnu Mas’ud benar. Suamimu dan anak-anakmu adalah orang yang peling berhak menerima sedekahmu.”
Jadi meskipun harta tersebut kembali lagi untuk keluarga, para istri bisa mendapat pahala sedekah. Benefitnya jadi berlipat; kebutuhan keluarga tercukupi, istri mendapat pahala sedekah dari Allah. Wallahua’lam.

Oleh: Ust. Taufik Anwar- Arrisalah.com


Seorang wanita dinikahi karena agamanya, hartanya & kecantikannya. Tetapi, utamakanlah agamanya, niscaya kamu akan beruntung. (Abu Isa At Tirmidzi) Hadits semakna diriwayatkan dari Auf bin Malik, Aisyah, Abdullah bin 'Amr & Abu Sa'id. Abu Isa berkata; Hadits Jabir merupakan hadits hasan sahih.
[HR. Tirmidzi No.1006].

Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, jika salah seorang dari kalian bersin, hendaknya mengucapkan ALHAMDULILLAAHI RABBIL 'AALAMIIN (segala puji bagi Allah), & orang yang menjawabnya mengucapkan YARHAMU KALLAAH (semoga Allah merahmatimu), kemudian ia mengucapkan YAGHFIRULLAAHU LANAA WA LAKUM (semoga Allah mengampuni kami & kalian). [HR. Tirmidzi No.2664].

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Tidak halal bagi seseorang untuk memisahkan (tempat duduk) dua orang kecuali atas izin keduanya."
Abu Isa berkata; Hadits ini hasan shahih

Jumat, 08 Februari 2019

Jadilah Orangtua yang Kuat

MERASA benar kerap kali membuat kita kehilangan kendali atas emosi dan perilaku buruk. Bahkan sekalipun lisan ini kerap meluncurkan kata-kata buruk, diri tetap merasa baik-baik saja, sebab sistem kesadaran kita telah menyatakan, bahwa yang dilakukan, seluruhnya benar. Perasaan semacam inilah yang membuat pendidikan orangtua terhadap anak tidak berjalan sebagaimana mestinya. Perasaan itulah yang menjadikan komunikasi pasangan dalam rumah tangga lebih sering memicu perdebatan daripada saling memahami, sehingga kian hari kasih sayang terus tergerus, yang pada akhirnya, emosi terus membara.

Semua itu membuat seseorang lupa bahwa tujuan baik, tak bisa dicapai dengan cara yang tidak baik. Termasuk ketika ingin memiliki anak yang sholeh, tetapi setiap anak tidak sesuai harapan, lisan langsung menembakkan kata-kata buruk. Dorothi Law Nolte mengatakan bahwa anak yang dibesarkan dengan caci maki akan tumbuh menjadi pribadi rendah diri. Anak yang dibesarkan dengan cercaan dan hinaan, akan tumbuh menjadi sosok yang jiwanya kerdil dan menjadi pribadi yang suka menyesali diri.

Oleh karena itu, kendalikan diri, jangan merasa benar, cobalah introspeksi diri. Jangan sampai maksud baik diwujudkan dengan cara yang salah, sehingga tanpa sadar justru kita sendiri yang membentuk alam bawah sadar anak sedemikian buruk.
Sekarang coba kita cek dalam hati sendiri, apakah mau kita dicaci maki? Andai diri kembali menjadi seperti anak-anak, apakah rela kita dicaci maki. Mungkin akan muncul pertanyaan dalam hati, jika orangtuaku sering mencaciku,untuk apa mereka melahirkan dan memelihara diriku.

Di sinilah kita dapat mengamalkan apa yang Allah sebutkan sebagai salah satu sifat insan bertaqwa, yakni memaafkan kesalahan manusia, siapapun itu, terlebih buah hati sendiri. Ada kisah menarik yang dialami oleh Ustadz Haikal Hasan, dimana perilaku buruk dirinya ketika masih remaja ternyata disikapi dengan sangat bijaksana oleh sang ibu.

Ketika itu, sepulang sekolah, ia lemparkan tas sekolahnya, kemudian bergegas keluar main bola dari siang hingga petang. Pulang dalam keadaan basah kuyup, baju penuh lumpur. Dan, dirinya bersama teman-temannya pulang dengan cara mengendap. Temannya mendapat perlakuan hampir sama dari ibunya, dimarahi dan dipukuli. Menyaksikan itu, ustadz yang dikenal dengan panggilan babeh itu merasa gugup dan gemetar untuk segera sampai di rumah.

Tetapi, luar biasa. Ustadz Haikal Hasan mendapati ibunya menyambut dengan penuh kasih sayang, tanpa ada kata marah, raut benci dan sebagainya. Malah menyuruhnya segera mandi dan telah disediakan air hangat. Kejadian itu membekas betul dalam benak ustadz yang dikenal humoris itu, hingga akhirnya beliau menjadi terdorong belajar dan berbakti kepada orangtua.

Didik Anak Bisa Berpikir
Mohamed A. Khalfan dalam bukunya Anakku Bahagia Anakku Sukses menjabarkan bahwa setiap anak mesti dididik untuk bisa berpikir.
“Ajarlah anak untuk bisa berpikir. Sekali kemampuan berpikir itu dikuasai, dia akan berbuat lebih banyak lagi dari pada sekadar berpikir.”
Nampaknya hal itulah yang terjadi pada Ustadz Haikal Hasan, dimana perilaku sang ibu yang berbalik 180 derajat dari apa yang dibayangkannya, mendorongnya sadar, mengerti, dan yakin bahwa orangtuanya benar-benar mencintai dan berharap dirinya tumbuh menjadi pribadi bertanggungjawab dan bermanfaat bagi umat.

Jika merujuk dalam Al-Qur’an, metode mendidik anak bisa berpikir bisa dilihat dari cara para Nabi berkomunikasi dengan anak-anaknya. Nabi Ibrahim mengajak dialog anaknya. Nabi Ya’kub juga mengajak dialog anak-anaknya. Bahkan Luqman Al-Hakim mengajak sang anak tak sekedar dialog, tetapi terjun ke masyarakat kemudian menghadirkan banyak hikmah secara langsung kepada anaknya.

Dengan kata lain, memang tidak diperlukan ungkapan penuh kemarahan dan kekesalan ditumpahkan oleh orang dewasa atau orangtua kepada anak-anaknya. Berkatalah yang lembut, biasakan berdialog, dan yang terpenting pahami tingkatan psikologi anak, sehingga kita tidak mengharapkan, kecuali batasan yang sanggup dicapai anak kita sendiri.

Dalam hal ini, Mohamed A. Kholfan kembali menegaskan, “Seorang anak yang tidak terlatih untuk berpikir – dan karenanya ia akan gagal dalam melakukan penalaran – biasanya akan melibatkan emosinya untuk menutupi kekurangannya.” Tidakkah hari ini kita bertemu dengan sosok orang yang emosinya lebih didahulukan daripada akalnya? Boleh jadi, orang yang demikian besar dalam cara didikan yang keliru, sehingga kala tumbuh dewasa, ia gagal menjadi pribadi yang mengedepankan akal di atas emosinya.

Dengan demikian, mari bersabar, mari lebih teliti, jangan mudah untuk mengumbar amarah, sekalipun terhadap anak-anak sendiri. Sebab cara demikian selain tidak diajarkan oleh Islam juga akan membawa dampak negatif yang serius bagi pertumbuhan kepribadian anak-anak kita. Jadilah pribadi yang kuat, orangtua yang kuat dalam beragam hal, terutama dalam mendidik anak-anak, membina keluarga, yang dianjurkan dengan sangat oleh Nabi Muhammad ﷺ.
“Orang yang kuat tidaklah yang kuat dalam bergulat, namun mereka yang bisa mengendalikan dirinya ketika marah.” (HR. Malik).*///Imam Nawawi

Ridha Allah terletak Pada Ridha Orangtua

Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam telah bersabda,”Ridha Rabb terletak pada ridha kedua orang tua dan murka-Nya terletak pada kemurkaan keduanya.” (Riwayat Ath Thabarani, dishahihkan oleh Al Hafidz As Suyuthi)

Ridha Allah terletak kepada ridha kedua orangtua, karena Allah memerintahkan untuk mentaati orangtua. Barangsiapa yang mentaati perintah Allah ini, maka Allah akan meridhainya dan barang siapa menolak taat kepada-Nya maka Ia pun murka. Al Hafidz Al Iraqi menjelaskan bahwa ini mirip dengan ungkapan,”Barangsiapa tidak bersyukur kepada manusia maka ia tidak bersyukur kepada Allah. Namun tetap disyaratkan bahwa keridha’an dan kemurkaan orangtua masih dalam hal yang diperbolehkan oleh syariat.”
Adab Anak terhadap Orangtua
Imam Al Ghazali menyebutkan sejumlah hal yang termasuk adab anak kepada orangtuanya; mendengarkan perkataannya, mentaati perintahknya, tidak berjalan di depannya, tidak meninggikan suara di hadapannya, serta berusaha untuk mendapatkan keridhaannya. (lihat, Faidh Al Qadir, 4/33)
Mudah-mudahan kita dimasukkan oleh Allah kepada golongan tidak memperolah keridhaan dari orangtua, hingga Allah meridhai kita.*////Sholah Salim

Sumber: hidayatullah.com