Jumat, 13 Desember 2019

Dicari Ulama Waratsatul Anbiya!

Pada awalnya penegasan Allah dalam surah Fathir [35] ayat 28 bahwa orang yang paling takut kepada Allah itu adalah ulama. Penghargaan yang demikian tinggi terhadap ulama ditegaskan juga oleh berbagai Hadits Nabi. Salah satu Hadits Nabi  menyebutkan bahwa para ulama itu adalah pribadi-pribadi yang layak untuk mewarisi tugas-tugas para Nabi. Hadits dimaksud  adalah

: Artinya; ”Dari Abu Darda radliyallahu ‘anhu, Dia berkata: ”Sesungguhnya Aku mendengar Rasulullah saw bersabda,  siapa yang menempuh jalan yang di sana ia mencari ilmu Allah mudahkan jalan ke surga-Nya. Sesungguhnya malaikat  meletakkan sayap-sayapnya sebagai tanda dukungannya kepada pencari ilmu. Sesungguhnya mahkluk Allah yang ada di langit  dan di bumi, hingga ikan paus dilaut pun memanjatkan ampunan bagi pencari ilmu. Sesungguhnya keutamaan seorang berpengetahuan atas seorang tukang ibadah seperti keutamaan bulan atas seluruh benda bercahaya di langit. Sesungguhnya ulama itu para pewaris para nabi dan para nabi itu tidak mewarisi (uang) dinar dirham mereka hanya mewariskan ilmu siapa  yang mengambil ilmu ulama dia telah mendapat bagian yang banyak (HR Ibnu Majah).

Dengan terang Hadits di atas  menyebutkantiga hal sekaligus. Pertama, bahwa Allah dan malaikat serta makhluk Allah lainnya selalu memberikan dukungan  kepada seorang alim. Kedua, seorang alim dan sekian ulama dihargai tinggi oleh Allah sehingga kebaikan yang ditunaikannya  lebih berharga dari kebaikan tukang ibadah. Ketiga, tugas yang dilakukan ulama disamakan dengan tugas para nabi, yaitu  menebarkan pencerahan “ilmu” kepada orang banyak.

Mendefinisikan ulama

Kata ulama berasal dari bentukan isim fa’il kata  ‘alim yang bermula dari pola kata ‘alima ya’lamu ‘ilman yang bermakna mengetahui.Kata ‘alim secara leksikal pada mulanya  berarti orang yang tahu. Seorang dinyatakan mengetahui sesuatu manakala ia bertambah pengetahuannya. Untuk menambah pengetahuan seseorang mesti mencarinya (thalab al’ilm). Makna alim menurut Ibnu Abbas sebagaimana dikutip ‘Ikrimah,  adalah seorang yang tidak pernah menyekutukan Allah. Dia halalkan dan haramkan segala sesuatu berdasarkan ilmu- Nya, dia  senantiasa memelihara agama- Nya dan senantiasa berkeyakinan bahwa dia akan menemui-Nya dan seluruh amal  perbuatannya akan diperiksa-Nya. Sementara Said bin Jubair mendefinisikan seseorang memiliki al-khasyyah kepada Allah  manakala dalam dirinya ada defosit diri yang menghalanginya dari mendurhakai Allah. Karena itu pribadi yang berkualitas ulama sebagaimana yang disebutkan ayat dalam surah Fathir adalah seorang yang dengan pengetahuan yang diperolehnya menambah ketakutannya kepada- Nya karena dia meyakini bahwa pengetahuan yang dimilikinya semakin menyadarkannya bahwa Allah lah yang paling berkuasa dari segala sesuatu. Demikian Abul Fida Ismail Ibn Katsir ad-Dimasyqi dalam tafsirnya  (III: 545).

Sufyan ats-Tsawri pernah membagi  para ulama pada tiga kategori. Pertama‘alim billah alim biamrillaah. Yaitu ulama yang takut kepada Allah sekaligus tahu dengan  baik perintah-perintah Allah dan batasan-batasan yang dikerjakan dan  ditinggalkannya; Kedua alim billaah laysa bi’alim biamrillaah, yaitu ulama yang takut kepada Allah tetapi tidak mengetahui   erintah Allah dan batasan-batasan-Nya dan ketiga alim biamrillah laysa bi’alim billaah, ulama yang tahu perintah Allah tetapi  tidak takut kepada Allah. 

Ulama Waratsatul Anbiya
Hadits terbahas menegaskan bahwa ulama itu adalah pewaris para nabi. Ini  bermakna bahwa apa yang menjadi prasyarat kenabian yang melekat kepada para nabi sedikit banyak juga menjadi parasyarat keulamaan waratsat al-anbiya. Abu Bakar al-Jazairi menegaskan seorang diangkat menjadi nabi karena dalam dirinya   ditemukantiga karakteristik sekaligus, yaitu unsur al-mitsaaliyyah, syaraf an-naas dan amil az-zaman (al-Jaziri dalam Ilyas: 2002).  arena itu pula seseorang alim dinyatakan sebagai alim yang mewarisi para nabi manakala memenuhi tiga unsur tersebut.

Seorang ulama dinyatakan memenuhi unsur almitsaliyah manakala dia mempunyai aspek kemanusiaan yang utuh dan   aripurna yang ditunjukkan dengan fisik yang sehat dan kuat, akal intelektual yangkomprehensif serta dihiasi dengan jiwa yang mulia. Dalam kesehariannya dia menjaga perilakunya sehingga apa yang dilakukannya menjadi panutan dan teladan   agi orang di sekelilingnya. Saat seorang alim menjadi teladan itu terkadang dia harus dinilai aneh (gharib) oleh sekelilingnya.

Seorang ulama disebut memenuhi unsur syarafs an-naas manakala perilaku dirinya menyemburatkan seorang yang  berasal dari keturunan yang terhormat yang senantiasa menjaga dan menjauhkan diri  dari berbagai bentuk perbuatan yang merendahkan dan menistakan nilai-nilai kemanusiaan dirinya. Dalam hal ini biasanya seorang ulama adalah sorang yang dihormati oleh  khalayak banyak. Dengan pengertian ini, maka seorang alim atau ulama dapat saja muncul dari kalangan orang yang  miskin  namun memelihara kemuliaan jiwa sebagaimana terwakili dalam pribadi alim yang bernama Abul Walid al-Baji yang untuk tiba  pada derajat kealimannya dia merantau ke negari Damaskus, Mosul dan Mesir dengan penuh keprihatinan. Dalam beberapa fase pengembaraan keilmuannya al-Baji terpaksa sempat harus bekerja sebagai seorang satpam di Baghdad demi mendapatkan upah supaya dapat terus mencari ilmu (Muhammad:2001).

Seorang ulama dikatakan memenuhi unsur amil  az-zaman ketika pelayanannya kepada orang banyak benar-benar dirasakan kehadirannya. Keberadaannya di tengah umatnya  dilakukan dalam bentuk perbaikan tatanan sosial masyarakat, tatanan akhlak bahkan tatanan ekonomi. Dalam hal ini seorang  alim berarti seorang yang bukan orang pada umumnya sebab jika kualitas dirinya sama dengan yang lainnya maka orang  banyak pun akan memandangnya sebagai pribadi yang lumrah saja. Tetapi ketidaklumrahan ulama ini tidak berarti dia tidak  dekat dengan umatnya pada saat yang sama meskipun dia dekat dengan umatnya tidak bermakna dia menjual nilai  eulamaannya demi mengikuti opini kebanyakan sehingga menyesuaikan diri dengan keinginan sesaat umatnya.

Dengan  illustrasi demikian, dapatlah dipahami jika dalam blantika sejarah ditemukan fakta bahwa para ulama terkadang lebih diakui  otoritasnya dari penguasa. Perhatikan misalnya ulama semacam Abu  Hamid al-Isfiriyani yang dengan leluasa dapatberkata  epada Khalifah “Saya sangat menyadari bahwa Anda tidak akan dapat mencopot kekuasaan yang Allah anugerahkan kepada  aya. Tetapi jika saya kirimkan surat dengan dua tiga kalimat saja kepada  rakyat Khurasan saya dapat mencopot Anda.

Mewaspadai pengkhianatan ulama

Sejarah mencatat, sebagaimana halnya para nabi dalam melaksanakan tugas risalah kenabiannya senantiasa menjaga  kemandiriannya. Demikian halnya denganpara ulama juga selalu memelihara  ndefendensinya. Jika seorang Muhammad saw berjual beli di pasar sebagaimana diabadikan Al-Qur’an dengan kalimat yamsyi  il aswaq, untuk memelihara kemandirian itu para ulama pun memiliki mata pencaharian  sendiri. Abu Hanifah, pada saat tidak  sedang menelisik sumber-sumber ilmu atau sibuk memberikan fatwa, ia membuka baqalah tokonya dan melayani para pembeli  kain yang dijualnya. Sedangkan seorang alim bernama Sari as-Saqathi, untuk menopang aktivitas keulamaannya dia menjadi  enjual bahan bangunan di pasar. Dalam tradisi Muhammadiyah pun hal yang sama dilakukan para ustadz dan kiainya yang pionernya adalah KH Ahmad Dahlan yang  berjualan batik.

Dengan karakteristik sebagaimana telah disebutkan di atas maka  tugas ulama H A D I T S  sangatlah beratnya. Tidak ringannya tugas ulama karena sebagai manusia biasa dia dituntut untuk  menampilkan dirinya sebagai orang yang dijadikan contoh sekaligus diperlukan  oleh orang banyak. Di tengah idealita  keulamaan yang sejatinya mewarisi nilai-nilai kenabian ditengarai ada oknum ulama yang menjual dirinya untuk  berselingkuh  dengan kekuasaan dan opini khalayak banyak. Ulama semacam ini dalam bahasa Julien Benda (1950) adalah ulama yang   elakukan pengkhianatan terhadap tugas mulia keulamaannya atau dalam bahasa para ahli etika disebut sebagai ulama as-suu,  lama yang mengusung  kejahatan. Jika surah Fathir ayat 28 yang menjadi landasannya mereka yang berselingkuh dengan   erbagai “kepentingan” ini tidak lah pantas disebut ulama. Dalam kategori Sufyan ats-Tsawri ulama ini, adalah ulama yang  mengerti segala sesuatu yang  terkait dengan aturan tapi tidak takut kepada Allah. Kelompok ulama seperti ini patut diwaspadai karena biasa melakukan “konsesi- konsesi” dengan berbagai kepentingan  di tengah masyarakat dan “berkolaborasi” dengan  berbagai kekuatan yang dimanfaatkan dan memanfaatkannya. Jika dibiarkan pelan namun pasti dapat menyesatkan orang  banyak yang berujung pada runtuhnya sendi-sendi kehidupan dan  ambruknya nilai-nilai kemanusiaan. Karena itulah tulisan kali  ini mengingatkan para pembelajar semua untuk mencari dan memastikan keberadaan para ulama waratsatul anbiya itu! 

Wallahu A’lam bish-Shawab


WAWAN GUNAWAN ABDUL WAHID


Alumni Pondok Pesantren Darul Arqam Muhammadiyah Garut, 
Dosen Uin Sunan Kalijaga Yogyakarta

Jumat, 06 Desember 2019

Hukum Go-Pay dalam Aplikasi Gojek


Pertanyaan:
Assalamu ‘alaikum wr wb
Saya mau bertanya, bagaimana hukum GoPay dalam aplikasi Gojek menurut Tarjih Muhammadiyah? Hal ini karena ada ustadz yang menyatakan dalam ceramah yang disiarkan melalui aplikasi youtube, beliau menyatakan GoPay itu haram.
Wassalamu ‘alaikum wr wb
Deaisya Maryama (disidangkan pada Jum‘at, 1 Rabiulawal 1440 H / 9 November 2018 M)
Jawaban:
Wa ‘alaikumus salam wr wb
Terima kasih atas pertanyaan saudari, semoga saudari senantiasa berada dalam naungan hidayah Allah SwT.
Perlu diketahui bahwa pada dasarnya, semua bentuk muamalah adalah dibolehkan, kecuali jika ada dalil yang melarang atau mengharamkannya. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam kaidah fikih,

Hukum asal dalam semua bentuk muamalah adalah boleh dilakukan, kecuali jika ada dalil yang mengharamkannya.
Termasuk dalam muamalah adalah sebagaimana yang saudari tanyakan, yaitu hukum GoPay. Sebelum menjelaskan tentang hukum GoPay, perlu kami informasikan terlebih dahulu tentang GoPay. GoPay adalah dompet virtual untuk menyimpan Gojek Credit yang bisa digunakan untuk membayar transaksi-transaksi yang berkaitan dengan layanan di dalam aplikasi Gojek.
GoPay ini pada dasarnya mirip dengan kartu ATM yang bisa dipakai untuk transaksi jual beli. Bedanya, ATM memiliki bentuk fisik berupa kartu, sedangkan GoPay menggunakan aplikasi dalam smart phone.
Dalam fikih muamalah, setelah kita mengetahui pengertian sebuah produk bisnis, maka kemudian yang harus dicari adalah takyif (karakteristik/sifat) akad dari bisnis tersebut. Menurut sebagian ulama yang mengharamkan GoPay, keharaman GoPay didasarkan pada pendapat bahwa takyif fikih akad dalam GoPay adalah akad utang piutang, sehingga dalam akad ini berlaku kaidah,
Setiap piutang yang mendatangkan kemanfaatan/keuntungan tambahan adalah riba.
Sebagai konsekuensi, ketika mengatakan bahwa akad antara pengguna dan perusahaan pemilik GoPay adalah utang piutang, maka tambahan keuntungan (termasuk dalam hal ini diskon) termasuk hal yang diharamkan karena termasuk riba. Qiyasnya adalah sama dengan bunga bank.
Dalam pendapat ini, haramnya GoPay hanyalah ketika adanya diskon (keuntungan), sehingga jika menggunakan GoPay tanpa adanya diskon, hal itu diperbolehkan. Diskon dalam GoPay yang (menurut pendapat ini) sudah dihukumi dengan riba, maka berlaku ayat,

Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba (Qs. Al-Baqarah [2]: 275).
Namun demikian, skema GoPay bukan akad utang piutang (qardh), melainkan diidentifikasikan dengan skema akad jual beli jasa. Indikasi akad jual beli ini adalah pihak pelanggan mendepositkan uangnya dalam GoPay (mirip dengan deposit di e-money), dan costumer bertransaksi langsung ke Gojek dengan mendepositkan sejumlah dana tertentu di GoPay untuk pembayaran atas jasa Gojek yang akan dimanfaatkan di kemudian hari.
Oleh karena itu, substansi akadnya bukan utang piutang, tetapi jual beli jasa. Deposit itu sebagai upah yang dibayarkan di muka. Dalam hal ini costumer tidak dianggap bermuamalah dengan bank melainkan dengan pihak Gojek layaknya e-money. Dengan demikian, maka skema ijarah maushufah fi dzimmah lebih tepat untuk kasus GoPay, yaitu bayaran atau fee (ujrah) nya dibayarkan di muka.
Dalam Ensiklopedi Fiqh dinyatakan, selama ijarah berupa akad muawadhah (berbayar), maka boleh bagi penyedia jasa meminta bayaran (upah) sebelum memberikan layanan kepada pelanggan, sebagaimana penjual boleh meminta uang bayaran (barang yang dijual) sebelum barangnya diserahkan. Jika upah sudah diserahkan, maka penyedia jasa berhak untuk memilikinya sesuai kesepakatan, tanpa harus menunggu layanannya diberikan (al-Mausu’ah al-Fiqhiyah, 1/253).
Ini seperti akad salam, hanya saja, objek transaksi akad salam adalah barang. Konsumen membeli barang, uangnya dibayar tunai di depan, namun barang datang kemudian. Seperti juga e-toll atau e-money untuk pembayaran beberapa layanan yang disediakan oleh penyelenggara aplikasi. Akadnya adalah jual beli, dengan uang dibayarkan di depan, sementara manfaat/layanan baru didapatkan menyusul sekian hari atau sekian waktu kemudian.
Pemilik barang secara prinsip berhak menentukan harga, dan berhak pula memberikan diskon bagi konsumen yang membeli dengan pembayaran cash di muka sebelum barang diserahkan. Jika hal ini berlaku pada barang, tentu berlaku pula untuk jasa. Sehingga boleh bagi konsumen yang memiliki GoPay memperoleh diskon dari pihak penyedia aplikasi. Dengan demikian hukum bertransaksi menggunakan GoPay dalam aplikasi Gojek adalah boleh.
Wallahu a‘lam bish-shawab.
Rubrik Tanya Jawab Agama Diasuh Divisi Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 19 Tahun 2019


Pertanyaan:
Assalamu ‘alaikum wr wb
Pada shalat Jum’at di masjid kompleks tempat tinggal saya, setelah iqamah imam meminta kepada makmum untuk meluruskan shaf (berbahasa Arab) kemudian juga menyuruh makmum anak-anak untuk tidak ribut (berbahasa Indonesia). Yang ingin saya tanyakan, apakah hukumnya seorang imam shalat Jum’at berkata “anak-anak jangan ribut” sebelum takbir shalat tersebut.
Wassalamu alaikum wr wb
Zulkhaidir Syah, Muara 2 OKU Selatan
(disidangkan pada Jum’at, 13 Muharram 1438 H / 14 Oktober 2016)

Imam Shalat Berkata “Anak-Anak Jangan Ribut”

Jawaban:
Terima kasih atas pertanyaan saudara semoga dapat memberikan kejelasan. Perlu diketahui terlebih dahulu bahwa pertanyaan yang sama sudah pernah dimuat pada buku Tanya Jawab Agama terbitan Suara Muhammadiyah Jilid 4 hal 115, tentang Masalah Shalat Jum’at.
Rasulullah pernah bersabda yang berkenaan dengan taswiyah ash-shufuf (meluruskan shaf) seperti yang saudara tanyakan, di antaranya adalah sebagaimana termuat dalam hadis-hadis berikut,
Hadits riwayat dari Anas bin Malik:

Luruskanlah shaf kalian, karena lurusnya shaf adalah bagian dari tegaknya shalat. [HR. Al-Bukhari no. 681].
Hadits riwayat dari Anas bin Malik:

Luruskanlah shaf dan rapatkanlah… [HR. Al-Bukhari no. 678].
Hadits riwayat dari Abu Umamah:

Luruskan shaf-shaf kalian, ratakan pundak-pundak kalian, bersikaplah lembut pada tangan-tangan saudara kalian dan tutuplah celah karena sesungguhnya setan menyela di antara kalian seperti anak-anak domba kecil [HR. Ahmad no. 21233]
Hadits riwayat dari Nu’man bin Basyir, Rasulullah saw bersabda:

Luruskanlah shaf kalian, atau Allah akan memalingkan wajah-wajah kalian [HR. Al-Bukhari no. 676].
Berdasarkan hadits-hadits di atas dapat diketahui bahwa sebelum shalat berjamaah dimulai, maka imam dianjurkan terlebih dahulu mengingatkan jamaahnya (makmumnya) agar meluruskan shaf. Hal ini karena lurusnya shaf dalam shalat berjamaah itu sangat penting, sebagaimana disebutkan dalam hadits-hadits di atas. Seperti inilah tuntunan Rasulullah saw yang berkaitan dengan pengaturan shaf dalam shalat berjamaah, termasuk pula pada shalat jamaah Jum’at.
Imam Asy-Syaukani dalam kitab Nailul Authar bab Al-Hitsu ‘ala Taswiyati as-Shufufi wa Rassiha wa Saddi Khilaliha (Daaru Al-Hadits / 2005 M) III: halaman 196 bahwa imam boleh berbicara di antara iqamah dan masuknya shalat (takbiratul ihram). Tentunya berbicara yang dimaksud di sini bertujuan untuk ketertiban dalam shalat. Sama halnya ucapan imam yang mengatakan “anak-anak jangan ribut” merupakan ucapan yang dibolehkan karena bertujuan untuk ketertiban dan kekhusyukan dalam shalat.
Oleh karenanya yang dilakukan imam yaitu berkata “anak –anak jangan ribut” adalah salah satu cara agar makmum dapat melaksanakan shalat berjamaah dengan khusyuk. Sama halnya ketika imam memerintahkan makmumnya untuk menonaktifkan telepon selular atau mengubahnya ke mode silent (diam) agar tidak mengganggu kekhusyukan shalat.
Dalam hal ini Imam menggunakan bahasa yang dapat dipahami oleh makmumnya, apakah itu bahasa Indonesia atau bahasa lainnya. Sepanjang itu untuk menertibkan shalat agar makmum satu sama lainnya tidak terganggu pada saat shalat sudah dimulai, sebagaimana yang dicontohkan Nabi saw di dalam riwayat Muslim dari sahabat Abu Mas’ud:

“Dahulu Rasulullah saw mengusap pundak kami dalam shalat..“ [HR. Muslim no. 432]
Hadits di atas menunjukkan bahwa imam dianjurkan untuk mengatur shaf makmumnya dengan cara apapun, bukan hanya dengan cara mengusap pundak, akan tetapi boleh juga dengan melafalkan taswiyah dan ucapan atau pergerakan yang dipahami makmum. Adapun Rasulullah saw mengusap pundak makmumnya agar shaf rapi dan lurus. Begitu pula imam yang mengatakan “anak-anak jangan ribut” adalah cara agar makmum (anak kecil yang belum paham lafadz taswiyah dengan bahasa arab) dapat tertib dalam shalat.
Dengan demikian perkataan imam “anak-anak jangan ribut” setelah taswiyah ash-shufuf sebelum takbiratul ihram tidak menjadikan shalat rusak atau tidak sah. Shalat yang dilakukan tetap sah, karena imam mengucapkan kata-kata tersebut di luar dari rangkaian shalat.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Rubrik Tanya Jawab Agama Diasuh Divisi Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Jumat, 06 September 2019

Hak Anak dalam Masjid

HAK ANAK DALAM MASJID
Oleh: Novian*)
1| Mari berbagi pengalaman , agar anak2 punya hak utk berada di dalam Masjid

2| Sudah bukan menjadi rahasia lagi betapa anak2 kehadirannya tidak begitu diharapkan di dalam masjid

3| Anak2 dianggap pengganggu kekhusyukan dalam beribadah. bahkan ada masjid yg terang2an menulis larangan anak masuk masjid

4| Bahkan ada orang dewasa yg tak segan2 menghardik&mengancam mrk jika bermain dan bercanda. Akhirnya Masjid pun menjadi tempat menyeramkan

5| Anak2 pun mncari tmpt alternatif hiburan.Pilihannya playstation&game online. Prmainan mnyenangkan. Pnjaganya pun menyambut ramah.

6| Akhirnya pihak masjid pun susah mencari kader remaja masjid. Banyak remaja yg menolak, sbb waktu kecil sll dimusuhi saat di masjid

7| Sifat Allah yg Maha Rahman tak muncul dlm perilaku sebagian pengurus masjid yg galak dan suka bentak anak di masjid

8| Akhirnya anak2 lebih mengenal Allah yg Mahakeras siksanya dibandingkan Maha RahimNya. Sbb mrk banyak dihukum dan  dimarahi jika bermain2 di masjid

9| Pun jika ada anak yg sungguh2 ibadah. Ternyata banyak mereka yg tak layak ada di shaf depan. Padahal mereka datang sejak awal ke. masjid

10| Padahal hak ada di shaff depan adalah yg datang duluan, bukan berdasarkan usia masjid

11| Kadang saat sholat jumat pun, khatib lupa menyapa anak2. Lebih fokus kepada jamaah dewasa. Anak2 dianggap warga kelas dua di masjid

12| Masjid sbg pusat display agama, seharusnya menjadi tmpt utk mengajarkan hakikat islam sesungguhnya : kasih sayang dan keramahan di masjid

13| Tidak berminatnya remaja saat ini terhadap Islam, sebagian besar krn trauma di masa kecil akan tampilan islam khususnya di masjid

14| Masjid kalah bersaing dgn mall, warnet dan tempat permainan lain dimana penjaganya ramah dan murah senyum di bandin di masjid

15| Banyak jamaah berebut menjalankan sunah di masjid. Lupa akan sunah yg lain yg diajarkan rasul : memuliakan anak2 di masjid

16| Sungguh indah saat rasul membawa cucunya, umamah dan husain ke masjid. Digembirakan mereka dgn digendong seraya bermain di masjid

17| Demi memuaskan husain bermain di masjid, Rasul melamakan sujudnya agar ia puas menungganginya seperti kuda. Tak memarahinya di masjid

18| Sahabat menduga lamanya sujud akibat datangnya wahyu. Mereka salah. Rasul menyengajakannya supaya anak2 puas bermain di masjid

19| Kisah2 Rasul yg memuliakan anak di masjid mngkn jarang trdengar/sengaja dilupakan sbagian orang. Pdhl mrk mngaku pncinta rasul.

20| Alhamdulillah sebagian pengurus masjid yg melarang anak2, akhirnya ada jg yg tercerahkan meski awalnya marah2 di masjid

21| Bahkan ada yg berinisiatif membuat ruang bermain bg anak2 serta menyediakan pampers bagi anak2 masjid

22| Biarlah anak betah bermain di masjid daripada memilih bermaih di tempat lain yg menjauhkan mereka dr agama. dan masjid

23| Jk sudah merasa nyaman di masjid. Barulah buat peraturan. Kpn harus bermain dan kapan harus ibadah. Mereka tentu bisa menerima di masjid

24| Indahnya jk anak2 saat waktu luang, izin ke ortunya untuk pergi ke mesjid. Berlama2 di sana. Masjid pun ramai. Oleh kegiatan di masjid

25| Orang dewasa lain yg malas ke masjid pun jadi bergairah melihat masjid yg ramai. Jadilah setiap masyarakat memakmurkan  masjid

26| Jk masjid ramai, mk tak ada lagi yg ribut dgn perang2 kelompok, begal dan kenakalan2 lain. Sebab mrk semua hatinya terpaut ke masjid

27| Jd dari skrng, mari buat masjid  sbg tempat yg nyaman, ramah, bersih dan menyenangkan bagi anak2. Kelak mereka yg akan memakmurkan masjid

28| Mulailah sekrng bikin iklan ke warnet2 dan game online, bahwa masjid skrng punya tempat bermain. Niscaya warnet sepi dan semua ke masjid

29| Mudah2an ada pengurus masjid  yg baca WA  ini dan memulai gerakan ajak anak ke masjid
semoga terwujud
Aamiin..............

30| Mari di viralkan dan semoga kita tergolong Pemakmur Masjid Aamin.
*) penulis adalah takmir masjid Baiturahim
Kejambon Kota Tegal

Keutamaan Bulan Muharram
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلاَةُ اللَّيْلِ
Puasa yang paling utama setelah (puasa) Ramadhan adalah (puasa) di bulan Allah (bulan) Muharram, dan shalat yang paling utama setelah shalat wajib (lima waktu) adalah shalat malam.“[1].
Hadits yang mulia ini menunjukkan dianjurkannya berpuasa pada bulan Muharram, bahkan puasa di bulan ini lebih utama dibandingkan bulan-bulan lainnya, setelah bulan Ramadhan[2].

Mutiara hikmah yang dapat kita petik dari hadits ini:

  • Puasa yang paling utama dilakukan pada bulan Muharram adalah puasa ‘Aasyuura’ (puasa pada tanggal 10 Muharram), karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukannya dan memerintahkan para sahabat radhiyallahu ‘anhum untuk melakukannya[3], dan ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang keutamaannya beliau bersabda,
يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ
Puasa ini menggugurkan (dosa-dosa) di tahun yang lalu“[4].
  • Lebih utama lagi jika puasa tanggal 10 Muharram digandengankan dengan puasa tanggal 9 Muharram, dalam rangka menyelisihi orang-orang Yahudi dan Nashrani, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika disampaikan kepada beliau bahwa tanggal 10 Muharram adalah hari yang diagungkan orang-orang Yahudi dan Nashrani, maka beliau bersabda,
فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ – إِنْ شَاءَ اللَّهُ – صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ
Kalau aku masih hidup tahun depan, maka sungguh aku akan berpuasa pada tanggal 9 Muharram (bersama 10 Muharram).” [5]
  • Adapun hadits,
صُومُوا يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَخَالِفُوا فِيهِ الْيَهُودَ صُومُوا قَبْلَهُ يَوْماً أَوْ بَعْدَهُ يَوْماً
Berpuasalah pada hari ‘Aasyuura’ dan selisihilah orang-orang Yahudi, berpuasalah sehari sebelumnya atau sehari sesudahnya.“[6], maka hadits ini lemah sanadnya dan tidak bisa dijadikan sebagai sandaran dianjurkannya berpuasa pada tanggal 11 Muharram[7].
  • Sebagian ulama ada yang berpendapat di-makruh-kannya (tidak disukainya) berpuasa pada tanggal 10 Muharram saja, karena menyerupai orang-orang Yahudi, tapi ulama lain membolehkannya meskipun pahalanya tidak sesempurna jika digandengkan dengan puasa sehari sebelumnya[8].
  • Sebab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan puasa tanggal 10 Muharram adalah karena pada hari itulah Allah Ta’ala menyelamatkan Nabi Musa álaihis salam dan umatnya, serta menenggelamkan Fir’aun dan bala tentaranya, maka Nabi  Musa ‘alaihis salam pun berpuasa pada hari itu sebagai rasa syukur kepada-Nya, dan ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengar orang-orang Yahudi berpuasa pada hari itu karena alasan ini, maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
فَنَحْنُ أَحَقُّ وَأَوْلَى بِمُوسَى مِنْكُمْ
Kita lebih berhak (untuk mengikuti) Nabi Musa ‘alaihis salam daripada mereka“[9]. Kemudian untuk menyelisihi perbuatan orang-orang Yahudi, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan untuk berpuasa tanggal 9 dan 10 Muharram[10].
  • Hadits ini juga menunjukkan bahwa shalat malam adalah shalat yang paling besar keutamaannya setelah shalat wajib yang lima waktu[11].

Sumber: muslim.or.id

Jumat, 01 Maret 2019

Pandangan Islam tentang Kehidupan


PANDANGAN ISLAM TENTANG KEHIDUPAN
Keputusan
Muktamar Muhammadiyah Ke-44
Tanggal 8 s/d 11 Juli Tahun 2000 Di Jakarta
PIMPINAN PUSAT MUHAMMADIYAH
1421 H / 2000 M

Islam adalah Agama Allah yang diwahyukan kepada para Rasul1, sebagai hidayah dan rahmat Allah bagi umat manusia sepanjang masa, yang menjamin kesejahteraan hidup materiil dan spirituil, duniawi dan ukhrawi. Agama Islam, yakni Agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad sebagai Nabi akhir zaman, ialah ajaran yang diturunkan Allah yang tercantum dalam Al-Quran dan Sunnah Nabi yang shahih (maqbul) berupa perintah-perintah, larangan-larangan, dan petunjuk-petunjuk untuk kebaikan hidup manusia di dunia dan akhirat. Ajaran Islam bersifat menyeluruh yang satu
dengan lainnya tidak dapat dipisah-pisahkan meliputi bidang-bidang aqidah, akhlaq, ibadah, dan mu'amalah duniawiyah.
 Islam adalah agama untuk penyerahan diri semata-mata kepada Allah2, Agama semua Nabi-nabi3, Agama yang sesuai dengan fitrah manusia4, Agama yang menjadi petunjuk bagi manusia5, Agama yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan dan hubungan manusia dengan sesama6, Agama yang menjadi rahmat bagi semesta alam7. Islam satu-satunya agama yang diridhai Allah8 dan agama yang sempurna9. Dengan beragama Islam maka setiap muslim memiliki dasar/landasan hidup Tauhid kepada Allah10, fungsi/peran dalam kehidupan berupa ibadah11, dan menjalankan kekhalifahan12, dan bertujuan untuk meraih Ridha serta Karunia Allah SWT13. Islam yang
mulia dan utama itu akan menjadi kenyataan dalam kehidupan di dunia apabila benarbenar diimani, difahami, dihayati, dan diamalkan oleh seluruh pemeluknya (orang Islam, umat Islam) secara total atau kaffah14 dan penuh ketundukan atau penyerahan diri15. Dengan pengamalan Islam yang sepenuh hati dan sungguh-sungguh itu maka terbentuk manusia muslimin yang memiliki sifat-sifat utama: a. Kepribadian Muslim16, b. Kepribadian Mu'min17, c. Kepribadian Muhsin dalam arti berakhlak mulia18, dan d. Kepribadian Muttaqin19. Setiap muslim yang berjiwa mu'min, muhsin, dan muttaqin, yang paripuma itu dituntut untuk memiliki keyakinan (aqidah) berdasarkan tauhid yang istiqamah dan
bersih dari syirk, bid'ah, dan khurafat; memiliki cara berpikir (bayani), (burhani), dan (irfani); dan perilaku serta tindakan yang senantiasa dilandasi oleh dan mencerminkan akhlaq al karimah yang menjadi rahmatan li-`alamin.
Dalam kehidupan di dunia ini menuju kehidupan di akhirat nanti pada hakikatnya Islam yang serba utama itu benar-benar dapat dirasakan, diamati, ditunjukkan, dibuktikan, dan membuahkan rahmat bagi semesta alam sebagai sebuah manhaj kehidupan (sistem kehidupan) apabila sungguh-sungguh secara nyata diamalkan oleh para pemeluknya. Dengan demikian Islam menjadi sistem keyakinan, sistem pemikiran, dan sistem tindakan yang menyatu dalam diri setiap muslim dan kaum muslimin sebagaimana menjadi pesan utama risalah da'wah Islam. Da'wah Islam sebagai wujud menyeru dan membawa umat manusia ke jalan Allah20 pada dasarnya harus dimulai dari orang-orang Islam sebagai pelaku da'wah itu sendiri (ibda binafsika) sebelum berda’wah kepada orang/pihak lain sesuai dengan seruan Allah: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari siksa neraka....”21. Upaya mewujudkan Islam dalam kehidupan dilakukan melalui da'wah itu ialah mengajak kepada kebaikan (amar ma’ruf), mencegah kemunkaran (nahyu munkar), dan mengajak untuk beriman (tu'minuna billah) guna terwujudnya umat yang sebaikbaiknya atau khairu ummah22
Berdasarkan pada keyakinan, pemahaman, dan penghayatan Islam yang mendalam dan menyeluruh itu maka bagi segenap warga Muhammadiyah merupakan suatu kewajiban yang mutlak untuk melaksanakan dan mengamalkan Islam dalam seluruh kehidupan dengan jalan mempraktikkan hidup Islami dalam lingkungan sendiri sebelum menda’wahkan Islam kepada pihak lain. Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam maupun warga Muhammadiyah sebagai muslim benar-benar dituntut keteladanannya dalam mengamalkan Islam di berbagai lingkup kehidupan, sehingga Muhammadiyah
secara kelembagaan dan orang-orang Muhammadiyah secara perorangan dan kolektif sebagai pelaku da'wah menjadi rahmatan lil `alamin dalam kehidupan di muka bumi ini.

KEHIDUPAN ISLAMI WARGA MUHAMMADIYAH
A. KEHIDUPAN PRIBADI
1. Dalam Aqidah
a.      Setiap warga Muhammadiyah harus memiliki prinsip hidup dan kesadaran imani berupa tauhid kepada Allah Subhanahu Wata'ala23 yang benar, ikhlas, dan penuh ketundukkan sehingga terpancar sebagai lbad ar-rahman24 yang menjalani kehidupan dengan benar-benar menjadi mukmin, muslim, muttaqin, dan muhsin yang paripurna.
b.      Setiap warga Muhammadiyah wajib menjadikan iman25 dan tauhid26 sebagai sumber seluruh kegiatan hidup, tidak boleh mengingkari keimanan berdasarkan tauhid itu, dan tetap menjauhi serta menolak syirk, takhayul, bid'ah, dan khurafat yang menodai iman dan tauhid kepada Allah Subhanahu Wata'ala27.

2. Dalam Akhlaq
a.      Setiap warga Muhammadiyah dituntut untuk meneladani perilaku Nabi dalam mempraktikkan akhlaq mulia28, sehingga menjadi uswah hasanah29 yang diteladani oleh sesama berupa sifat sidiq, amanah, tabligh, dan fathanah.
b.      Setiap warga Muhammadiyah dalam melakukan amal dan kegiatan hidup harus senantiasa didasarkan kepada niat yang ikhlas30 dalam wujud amalamal shalih dan ihsan, serta menjauhkan diri dari perilaku riya’, sombong, ishraf, fasad, fahsya, dan kemunkaran.
c.       Setiap warga Muhammadiyah dituntut untuk menunjukkan akhlaq yang mulia (akhlaq al-karimah) sehingga disukai/diteladani dan menjauhkan diri dari akhlaq yang tercela (akhlaq al-madzmumah) yang membuat dibenci dan dijauhi sesama.
d.      Setiap warga Muhammadiyah di mana pun bekerja dan menunaikan tugas maupun dalam kehidupan sehari-hari harus benar-benar menjauhkan diri dari perbuatan korupsi dan kolusi serta praktik-praktik buruk lainnya yang merugikan hak-hak publik dan membawa kehancuran dalam kehidupan di dunia ini.

_______________________________________________________

3. Dalam Ibadah
a.      Setiap warga Muhammadiyah dituntut untuk senantiasa membersihkan jiwa/hati ke arah terbentuknya pribadi yang mutaqqin dengan beribadah yang tekun dan menjauhkan diri dari jiwa/nafsu yang buruk31, sehingga terpancar kepribadian yang shalih32 yang menghadirkan kedamaian dan kemanfaatan bagi diri dan sesamanya.
b.      Setiap warga Muhammadiyah melaksanakan ibadah mahdhah dengan sebaik-baiknya dan menghidup suburkan amal nawafil (ibadah sunnah) sesuai dengan tuntunan Rasulullah serta menghiasi diri dengan iman yang kokoh, ilmu yang luas, dan amal shalih yang tulus sehingga tercermin dalam kepribadian dan tingkah laku yang terpuji.

4. Dalam Mu’amalah Duniawiyah
a.      Setiap warga Muhammadiyah harus selalu menyadari dirinya sebagai abdi33 dan khalifah di muka bumi34, sehingga memandang dan menyikapi kehidupan dunia secara aktif dan positif35 serta tidak menjauhkan diri dari pergumulan kehidupan36 dengan landasan iman, Islam, dan ihsan dalam arti berakhlaq karimah37.
b.      Setiap warga Muhammadiyah senantiasa berpikir secara burhani, bayani, dan irfani yang mencerminkan cara berpikir yang Islami yang dapat membuahkan karya-karya pemikiran maupun amaliah yang mencerminkan keterpaduan antara orientasi habluminallah dan habluminannas serta maslahat bagi kehidupan umat manusia38.
c.       Setiap warga Muhammadiyah harus mempunyai etos kerja Islami, seperti: kerja keras, disiplin, tidak menyia-nyiakan waktu, berusaha secara maksimal/optimal untuk mencapai suatu tujuan39.

­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­bersambung


      





1.            Q.S. Asy-Syura/42: 13
       2.            Q.S. An-Nisa/4 : 125
       3.            Q.S. Al-Baqarah/2: 136
       4.            Q.S. Ar-Rum/30: 30
       5.            Q.S. Al-Baqarah/2: 185
       6.            Q.S. Ali Imran/3: 112
       7.            Q.S. Al-Anbiya/21: 107
       8.            Q.S. Ali Imran/3: 19
       9.            Q.S. Al-Maidah/5: 3
    10.            Q.S. Al-Ikhlash/112: 1-4
    11.            Q. S. Adz-Dzariyat/51: 56
    12.            Q.S. Al-Baqarah/2: 30; Al-An'am/6: 165; Al`Araf/7: 69, 74; Yunus/10: 14, 73; As-Shad/38: 26
    13.            Q.S. Al-Fath/48: 29
    14.            Q.S. Al-Baqarah/2: 208
    15.            Q.S. Al-An'am/6: 161-163
    16.            Q.S. Al-Baqarah/2: 112, 133, 136, 256; Ali Imran/3 : 19, 52, 82, 85; An-Nisa/4: 125, 165, 170; Al-Maidah/5: 111, Al-An'am/6: 163; Al-Araf/7: 126; At-Taubah/9: 33; Yunus/10: 72, 84, 90; Hud/11: 14; Yusuf/12: 101; An-Nahl/16: 89, 102; Asy-Syuura/42: 13; Ash-Shaf/61: 9; Al-Mu'minun/23: 1-11
    17.            Q.S. Al-Baqarah/2: 2-4, 213 s/d 214, 165, 285; Ali Imran/3: 122 s/d 139; An-Nisa/4: 76; At-Taubah/9: 51, 71; Hud/11: 112 s/d 122; Al-Mu'minun/23: 1 s/d 11; Al-Hujarat/49: 15
    18.            Q.S. Al-Baqarah/2: 58, 112; An-Nisa/4: 125; Al-`An'am/6: 14; An-Nahl/16: 29, 69, 128; Luqman/31: 22; Ash-Shaffat/37: 113; Al-Ahqhaf/46: 15
    19.            Q.S. Al-Baqarah/2: 2 s/d 4, 177, 183; Ali Imran/3: 17, 76, 102, 133 s/d 134; Al- Maidah/5: 8; Al-'Araf/7: 26, 128, 156; Al-Anfal/8: 34; At-Taubah/9: 8; Yunus/10: 62 s/d 64; An-Nahl/16: 128; Ath-Thalaq/65: 2 s/d 4; An-Naba/78: 31
    20.            Q.S. Yusuf/112: 108
    21.            Q.S. At-Tahrim/66: 6
    22.            Q.S. Ali Imran/3: 104, 110
23 Q.S. Al-Ikhlash/112: 1 s/d 4
24 Q.S. Al-Furqan/25: 63-77
25 Q.S. An-Nisa/4: 136
26 Q.S. Al-Ikhlash/112: 1 s/d 4
27 Q.S. Al-Baqarah/2: 105, 221; An-Nisa/4: 48; Al-Maidah/5: 72; Al-`An'am/6: 14, 22 s/d
23, 101, 121; At-Taubah/9: 6, 28, 33; Al-Haj/22: 31; Luqman/31: 13 s/d 15
28 Q.S. Al-Qalam/68 : 4
29 Q.S. Al Ahzab/33: 21
30 Q.S. Al-Bayinah/98: 5, Hadist Nabi riwayat Bukhari-Muslim dari Umar bin Khattab

31 Q.S. Asy-Syams/91 : 5-8
32 Q.S. Al-Ashr/103 : 3, Q.S. Ali Imran/4 : 114
33 Q.S. Al-Baqarah/2 :
34 Q.S. Al-Baqarah/2: 30
35 Q.S. Shad/38: 27
36 Q.S. Al-Qashash/28 : 77
37 H. R. Bukhari-Muslim
38 Q.S. Ali Imran/3 : 1 12
39 Q.S. Ali Imran/3: 142; Al-Insyirah/94 : 5-8