Jumat, 13 Desember 2019

Dicari Ulama Waratsatul Anbiya!

Pada awalnya penegasan Allah dalam surah Fathir [35] ayat 28 bahwa orang yang paling takut kepada Allah itu adalah ulama. Penghargaan yang demikian tinggi terhadap ulama ditegaskan juga oleh berbagai Hadits Nabi. Salah satu Hadits Nabi  menyebutkan bahwa para ulama itu adalah pribadi-pribadi yang layak untuk mewarisi tugas-tugas para Nabi. Hadits dimaksud  adalah

: Artinya; ”Dari Abu Darda radliyallahu ‘anhu, Dia berkata: ”Sesungguhnya Aku mendengar Rasulullah saw bersabda,  siapa yang menempuh jalan yang di sana ia mencari ilmu Allah mudahkan jalan ke surga-Nya. Sesungguhnya malaikat  meletakkan sayap-sayapnya sebagai tanda dukungannya kepada pencari ilmu. Sesungguhnya mahkluk Allah yang ada di langit  dan di bumi, hingga ikan paus dilaut pun memanjatkan ampunan bagi pencari ilmu. Sesungguhnya keutamaan seorang berpengetahuan atas seorang tukang ibadah seperti keutamaan bulan atas seluruh benda bercahaya di langit. Sesungguhnya ulama itu para pewaris para nabi dan para nabi itu tidak mewarisi (uang) dinar dirham mereka hanya mewariskan ilmu siapa  yang mengambil ilmu ulama dia telah mendapat bagian yang banyak (HR Ibnu Majah).

Dengan terang Hadits di atas  menyebutkantiga hal sekaligus. Pertama, bahwa Allah dan malaikat serta makhluk Allah lainnya selalu memberikan dukungan  kepada seorang alim. Kedua, seorang alim dan sekian ulama dihargai tinggi oleh Allah sehingga kebaikan yang ditunaikannya  lebih berharga dari kebaikan tukang ibadah. Ketiga, tugas yang dilakukan ulama disamakan dengan tugas para nabi, yaitu  menebarkan pencerahan “ilmu” kepada orang banyak.

Mendefinisikan ulama

Kata ulama berasal dari bentukan isim fa’il kata  ‘alim yang bermula dari pola kata ‘alima ya’lamu ‘ilman yang bermakna mengetahui.Kata ‘alim secara leksikal pada mulanya  berarti orang yang tahu. Seorang dinyatakan mengetahui sesuatu manakala ia bertambah pengetahuannya. Untuk menambah pengetahuan seseorang mesti mencarinya (thalab al’ilm). Makna alim menurut Ibnu Abbas sebagaimana dikutip ‘Ikrimah,  adalah seorang yang tidak pernah menyekutukan Allah. Dia halalkan dan haramkan segala sesuatu berdasarkan ilmu- Nya, dia  senantiasa memelihara agama- Nya dan senantiasa berkeyakinan bahwa dia akan menemui-Nya dan seluruh amal  perbuatannya akan diperiksa-Nya. Sementara Said bin Jubair mendefinisikan seseorang memiliki al-khasyyah kepada Allah  manakala dalam dirinya ada defosit diri yang menghalanginya dari mendurhakai Allah. Karena itu pribadi yang berkualitas ulama sebagaimana yang disebutkan ayat dalam surah Fathir adalah seorang yang dengan pengetahuan yang diperolehnya menambah ketakutannya kepada- Nya karena dia meyakini bahwa pengetahuan yang dimilikinya semakin menyadarkannya bahwa Allah lah yang paling berkuasa dari segala sesuatu. Demikian Abul Fida Ismail Ibn Katsir ad-Dimasyqi dalam tafsirnya  (III: 545).

Sufyan ats-Tsawri pernah membagi  para ulama pada tiga kategori. Pertama‘alim billah alim biamrillaah. Yaitu ulama yang takut kepada Allah sekaligus tahu dengan  baik perintah-perintah Allah dan batasan-batasan yang dikerjakan dan  ditinggalkannya; Kedua alim billaah laysa bi’alim biamrillaah, yaitu ulama yang takut kepada Allah tetapi tidak mengetahui   erintah Allah dan batasan-batasan-Nya dan ketiga alim biamrillah laysa bi’alim billaah, ulama yang tahu perintah Allah tetapi  tidak takut kepada Allah. 

Ulama Waratsatul Anbiya
Hadits terbahas menegaskan bahwa ulama itu adalah pewaris para nabi. Ini  bermakna bahwa apa yang menjadi prasyarat kenabian yang melekat kepada para nabi sedikit banyak juga menjadi parasyarat keulamaan waratsat al-anbiya. Abu Bakar al-Jazairi menegaskan seorang diangkat menjadi nabi karena dalam dirinya   ditemukantiga karakteristik sekaligus, yaitu unsur al-mitsaaliyyah, syaraf an-naas dan amil az-zaman (al-Jaziri dalam Ilyas: 2002).  arena itu pula seseorang alim dinyatakan sebagai alim yang mewarisi para nabi manakala memenuhi tiga unsur tersebut.

Seorang ulama dinyatakan memenuhi unsur almitsaliyah manakala dia mempunyai aspek kemanusiaan yang utuh dan   aripurna yang ditunjukkan dengan fisik yang sehat dan kuat, akal intelektual yangkomprehensif serta dihiasi dengan jiwa yang mulia. Dalam kesehariannya dia menjaga perilakunya sehingga apa yang dilakukannya menjadi panutan dan teladan   agi orang di sekelilingnya. Saat seorang alim menjadi teladan itu terkadang dia harus dinilai aneh (gharib) oleh sekelilingnya.

Seorang ulama disebut memenuhi unsur syarafs an-naas manakala perilaku dirinya menyemburatkan seorang yang  berasal dari keturunan yang terhormat yang senantiasa menjaga dan menjauhkan diri  dari berbagai bentuk perbuatan yang merendahkan dan menistakan nilai-nilai kemanusiaan dirinya. Dalam hal ini biasanya seorang ulama adalah sorang yang dihormati oleh  khalayak banyak. Dengan pengertian ini, maka seorang alim atau ulama dapat saja muncul dari kalangan orang yang  miskin  namun memelihara kemuliaan jiwa sebagaimana terwakili dalam pribadi alim yang bernama Abul Walid al-Baji yang untuk tiba  pada derajat kealimannya dia merantau ke negari Damaskus, Mosul dan Mesir dengan penuh keprihatinan. Dalam beberapa fase pengembaraan keilmuannya al-Baji terpaksa sempat harus bekerja sebagai seorang satpam di Baghdad demi mendapatkan upah supaya dapat terus mencari ilmu (Muhammad:2001).

Seorang ulama dikatakan memenuhi unsur amil  az-zaman ketika pelayanannya kepada orang banyak benar-benar dirasakan kehadirannya. Keberadaannya di tengah umatnya  dilakukan dalam bentuk perbaikan tatanan sosial masyarakat, tatanan akhlak bahkan tatanan ekonomi. Dalam hal ini seorang  alim berarti seorang yang bukan orang pada umumnya sebab jika kualitas dirinya sama dengan yang lainnya maka orang  banyak pun akan memandangnya sebagai pribadi yang lumrah saja. Tetapi ketidaklumrahan ulama ini tidak berarti dia tidak  dekat dengan umatnya pada saat yang sama meskipun dia dekat dengan umatnya tidak bermakna dia menjual nilai  eulamaannya demi mengikuti opini kebanyakan sehingga menyesuaikan diri dengan keinginan sesaat umatnya.

Dengan  illustrasi demikian, dapatlah dipahami jika dalam blantika sejarah ditemukan fakta bahwa para ulama terkadang lebih diakui  otoritasnya dari penguasa. Perhatikan misalnya ulama semacam Abu  Hamid al-Isfiriyani yang dengan leluasa dapatberkata  epada Khalifah “Saya sangat menyadari bahwa Anda tidak akan dapat mencopot kekuasaan yang Allah anugerahkan kepada  aya. Tetapi jika saya kirimkan surat dengan dua tiga kalimat saja kepada  rakyat Khurasan saya dapat mencopot Anda.

Mewaspadai pengkhianatan ulama

Sejarah mencatat, sebagaimana halnya para nabi dalam melaksanakan tugas risalah kenabiannya senantiasa menjaga  kemandiriannya. Demikian halnya denganpara ulama juga selalu memelihara  ndefendensinya. Jika seorang Muhammad saw berjual beli di pasar sebagaimana diabadikan Al-Qur’an dengan kalimat yamsyi  il aswaq, untuk memelihara kemandirian itu para ulama pun memiliki mata pencaharian  sendiri. Abu Hanifah, pada saat tidak  sedang menelisik sumber-sumber ilmu atau sibuk memberikan fatwa, ia membuka baqalah tokonya dan melayani para pembeli  kain yang dijualnya. Sedangkan seorang alim bernama Sari as-Saqathi, untuk menopang aktivitas keulamaannya dia menjadi  enjual bahan bangunan di pasar. Dalam tradisi Muhammadiyah pun hal yang sama dilakukan para ustadz dan kiainya yang pionernya adalah KH Ahmad Dahlan yang  berjualan batik.

Dengan karakteristik sebagaimana telah disebutkan di atas maka  tugas ulama H A D I T S  sangatlah beratnya. Tidak ringannya tugas ulama karena sebagai manusia biasa dia dituntut untuk  menampilkan dirinya sebagai orang yang dijadikan contoh sekaligus diperlukan  oleh orang banyak. Di tengah idealita  keulamaan yang sejatinya mewarisi nilai-nilai kenabian ditengarai ada oknum ulama yang menjual dirinya untuk  berselingkuh  dengan kekuasaan dan opini khalayak banyak. Ulama semacam ini dalam bahasa Julien Benda (1950) adalah ulama yang   elakukan pengkhianatan terhadap tugas mulia keulamaannya atau dalam bahasa para ahli etika disebut sebagai ulama as-suu,  lama yang mengusung  kejahatan. Jika surah Fathir ayat 28 yang menjadi landasannya mereka yang berselingkuh dengan   erbagai “kepentingan” ini tidak lah pantas disebut ulama. Dalam kategori Sufyan ats-Tsawri ulama ini, adalah ulama yang  mengerti segala sesuatu yang  terkait dengan aturan tapi tidak takut kepada Allah. Kelompok ulama seperti ini patut diwaspadai karena biasa melakukan “konsesi- konsesi” dengan berbagai kepentingan  di tengah masyarakat dan “berkolaborasi” dengan  berbagai kekuatan yang dimanfaatkan dan memanfaatkannya. Jika dibiarkan pelan namun pasti dapat menyesatkan orang  banyak yang berujung pada runtuhnya sendi-sendi kehidupan dan  ambruknya nilai-nilai kemanusiaan. Karena itulah tulisan kali  ini mengingatkan para pembelajar semua untuk mencari dan memastikan keberadaan para ulama waratsatul anbiya itu! 

Wallahu A’lam bish-Shawab


WAWAN GUNAWAN ABDUL WAHID


Alumni Pondok Pesantren Darul Arqam Muhammadiyah Garut, 
Dosen Uin Sunan Kalijaga Yogyakarta

Jumat, 06 Desember 2019

Hukum Go-Pay dalam Aplikasi Gojek


Pertanyaan:
Assalamu ‘alaikum wr wb
Saya mau bertanya, bagaimana hukum GoPay dalam aplikasi Gojek menurut Tarjih Muhammadiyah? Hal ini karena ada ustadz yang menyatakan dalam ceramah yang disiarkan melalui aplikasi youtube, beliau menyatakan GoPay itu haram.
Wassalamu ‘alaikum wr wb
Deaisya Maryama (disidangkan pada Jum‘at, 1 Rabiulawal 1440 H / 9 November 2018 M)
Jawaban:
Wa ‘alaikumus salam wr wb
Terima kasih atas pertanyaan saudari, semoga saudari senantiasa berada dalam naungan hidayah Allah SwT.
Perlu diketahui bahwa pada dasarnya, semua bentuk muamalah adalah dibolehkan, kecuali jika ada dalil yang melarang atau mengharamkannya. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam kaidah fikih,

Hukum asal dalam semua bentuk muamalah adalah boleh dilakukan, kecuali jika ada dalil yang mengharamkannya.
Termasuk dalam muamalah adalah sebagaimana yang saudari tanyakan, yaitu hukum GoPay. Sebelum menjelaskan tentang hukum GoPay, perlu kami informasikan terlebih dahulu tentang GoPay. GoPay adalah dompet virtual untuk menyimpan Gojek Credit yang bisa digunakan untuk membayar transaksi-transaksi yang berkaitan dengan layanan di dalam aplikasi Gojek.
GoPay ini pada dasarnya mirip dengan kartu ATM yang bisa dipakai untuk transaksi jual beli. Bedanya, ATM memiliki bentuk fisik berupa kartu, sedangkan GoPay menggunakan aplikasi dalam smart phone.
Dalam fikih muamalah, setelah kita mengetahui pengertian sebuah produk bisnis, maka kemudian yang harus dicari adalah takyif (karakteristik/sifat) akad dari bisnis tersebut. Menurut sebagian ulama yang mengharamkan GoPay, keharaman GoPay didasarkan pada pendapat bahwa takyif fikih akad dalam GoPay adalah akad utang piutang, sehingga dalam akad ini berlaku kaidah,
Setiap piutang yang mendatangkan kemanfaatan/keuntungan tambahan adalah riba.
Sebagai konsekuensi, ketika mengatakan bahwa akad antara pengguna dan perusahaan pemilik GoPay adalah utang piutang, maka tambahan keuntungan (termasuk dalam hal ini diskon) termasuk hal yang diharamkan karena termasuk riba. Qiyasnya adalah sama dengan bunga bank.
Dalam pendapat ini, haramnya GoPay hanyalah ketika adanya diskon (keuntungan), sehingga jika menggunakan GoPay tanpa adanya diskon, hal itu diperbolehkan. Diskon dalam GoPay yang (menurut pendapat ini) sudah dihukumi dengan riba, maka berlaku ayat,

Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba (Qs. Al-Baqarah [2]: 275).
Namun demikian, skema GoPay bukan akad utang piutang (qardh), melainkan diidentifikasikan dengan skema akad jual beli jasa. Indikasi akad jual beli ini adalah pihak pelanggan mendepositkan uangnya dalam GoPay (mirip dengan deposit di e-money), dan costumer bertransaksi langsung ke Gojek dengan mendepositkan sejumlah dana tertentu di GoPay untuk pembayaran atas jasa Gojek yang akan dimanfaatkan di kemudian hari.
Oleh karena itu, substansi akadnya bukan utang piutang, tetapi jual beli jasa. Deposit itu sebagai upah yang dibayarkan di muka. Dalam hal ini costumer tidak dianggap bermuamalah dengan bank melainkan dengan pihak Gojek layaknya e-money. Dengan demikian, maka skema ijarah maushufah fi dzimmah lebih tepat untuk kasus GoPay, yaitu bayaran atau fee (ujrah) nya dibayarkan di muka.
Dalam Ensiklopedi Fiqh dinyatakan, selama ijarah berupa akad muawadhah (berbayar), maka boleh bagi penyedia jasa meminta bayaran (upah) sebelum memberikan layanan kepada pelanggan, sebagaimana penjual boleh meminta uang bayaran (barang yang dijual) sebelum barangnya diserahkan. Jika upah sudah diserahkan, maka penyedia jasa berhak untuk memilikinya sesuai kesepakatan, tanpa harus menunggu layanannya diberikan (al-Mausu’ah al-Fiqhiyah, 1/253).
Ini seperti akad salam, hanya saja, objek transaksi akad salam adalah barang. Konsumen membeli barang, uangnya dibayar tunai di depan, namun barang datang kemudian. Seperti juga e-toll atau e-money untuk pembayaran beberapa layanan yang disediakan oleh penyelenggara aplikasi. Akadnya adalah jual beli, dengan uang dibayarkan di depan, sementara manfaat/layanan baru didapatkan menyusul sekian hari atau sekian waktu kemudian.
Pemilik barang secara prinsip berhak menentukan harga, dan berhak pula memberikan diskon bagi konsumen yang membeli dengan pembayaran cash di muka sebelum barang diserahkan. Jika hal ini berlaku pada barang, tentu berlaku pula untuk jasa. Sehingga boleh bagi konsumen yang memiliki GoPay memperoleh diskon dari pihak penyedia aplikasi. Dengan demikian hukum bertransaksi menggunakan GoPay dalam aplikasi Gojek adalah boleh.
Wallahu a‘lam bish-shawab.
Rubrik Tanya Jawab Agama Diasuh Divisi Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 19 Tahun 2019


Pertanyaan:
Assalamu ‘alaikum wr wb
Pada shalat Jum’at di masjid kompleks tempat tinggal saya, setelah iqamah imam meminta kepada makmum untuk meluruskan shaf (berbahasa Arab) kemudian juga menyuruh makmum anak-anak untuk tidak ribut (berbahasa Indonesia). Yang ingin saya tanyakan, apakah hukumnya seorang imam shalat Jum’at berkata “anak-anak jangan ribut” sebelum takbir shalat tersebut.
Wassalamu alaikum wr wb
Zulkhaidir Syah, Muara 2 OKU Selatan
(disidangkan pada Jum’at, 13 Muharram 1438 H / 14 Oktober 2016)

Imam Shalat Berkata “Anak-Anak Jangan Ribut”

Jawaban:
Terima kasih atas pertanyaan saudara semoga dapat memberikan kejelasan. Perlu diketahui terlebih dahulu bahwa pertanyaan yang sama sudah pernah dimuat pada buku Tanya Jawab Agama terbitan Suara Muhammadiyah Jilid 4 hal 115, tentang Masalah Shalat Jum’at.
Rasulullah pernah bersabda yang berkenaan dengan taswiyah ash-shufuf (meluruskan shaf) seperti yang saudara tanyakan, di antaranya adalah sebagaimana termuat dalam hadis-hadis berikut,
Hadits riwayat dari Anas bin Malik:

Luruskanlah shaf kalian, karena lurusnya shaf adalah bagian dari tegaknya shalat. [HR. Al-Bukhari no. 681].
Hadits riwayat dari Anas bin Malik:

Luruskanlah shaf dan rapatkanlah… [HR. Al-Bukhari no. 678].
Hadits riwayat dari Abu Umamah:

Luruskan shaf-shaf kalian, ratakan pundak-pundak kalian, bersikaplah lembut pada tangan-tangan saudara kalian dan tutuplah celah karena sesungguhnya setan menyela di antara kalian seperti anak-anak domba kecil [HR. Ahmad no. 21233]
Hadits riwayat dari Nu’man bin Basyir, Rasulullah saw bersabda:

Luruskanlah shaf kalian, atau Allah akan memalingkan wajah-wajah kalian [HR. Al-Bukhari no. 676].
Berdasarkan hadits-hadits di atas dapat diketahui bahwa sebelum shalat berjamaah dimulai, maka imam dianjurkan terlebih dahulu mengingatkan jamaahnya (makmumnya) agar meluruskan shaf. Hal ini karena lurusnya shaf dalam shalat berjamaah itu sangat penting, sebagaimana disebutkan dalam hadits-hadits di atas. Seperti inilah tuntunan Rasulullah saw yang berkaitan dengan pengaturan shaf dalam shalat berjamaah, termasuk pula pada shalat jamaah Jum’at.
Imam Asy-Syaukani dalam kitab Nailul Authar bab Al-Hitsu ‘ala Taswiyati as-Shufufi wa Rassiha wa Saddi Khilaliha (Daaru Al-Hadits / 2005 M) III: halaman 196 bahwa imam boleh berbicara di antara iqamah dan masuknya shalat (takbiratul ihram). Tentunya berbicara yang dimaksud di sini bertujuan untuk ketertiban dalam shalat. Sama halnya ucapan imam yang mengatakan “anak-anak jangan ribut” merupakan ucapan yang dibolehkan karena bertujuan untuk ketertiban dan kekhusyukan dalam shalat.
Oleh karenanya yang dilakukan imam yaitu berkata “anak –anak jangan ribut” adalah salah satu cara agar makmum dapat melaksanakan shalat berjamaah dengan khusyuk. Sama halnya ketika imam memerintahkan makmumnya untuk menonaktifkan telepon selular atau mengubahnya ke mode silent (diam) agar tidak mengganggu kekhusyukan shalat.
Dalam hal ini Imam menggunakan bahasa yang dapat dipahami oleh makmumnya, apakah itu bahasa Indonesia atau bahasa lainnya. Sepanjang itu untuk menertibkan shalat agar makmum satu sama lainnya tidak terganggu pada saat shalat sudah dimulai, sebagaimana yang dicontohkan Nabi saw di dalam riwayat Muslim dari sahabat Abu Mas’ud:

“Dahulu Rasulullah saw mengusap pundak kami dalam shalat..“ [HR. Muslim no. 432]
Hadits di atas menunjukkan bahwa imam dianjurkan untuk mengatur shaf makmumnya dengan cara apapun, bukan hanya dengan cara mengusap pundak, akan tetapi boleh juga dengan melafalkan taswiyah dan ucapan atau pergerakan yang dipahami makmum. Adapun Rasulullah saw mengusap pundak makmumnya agar shaf rapi dan lurus. Begitu pula imam yang mengatakan “anak-anak jangan ribut” adalah cara agar makmum (anak kecil yang belum paham lafadz taswiyah dengan bahasa arab) dapat tertib dalam shalat.
Dengan demikian perkataan imam “anak-anak jangan ribut” setelah taswiyah ash-shufuf sebelum takbiratul ihram tidak menjadikan shalat rusak atau tidak sah. Shalat yang dilakukan tetap sah, karena imam mengucapkan kata-kata tersebut di luar dari rangkaian shalat.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Rubrik Tanya Jawab Agama Diasuh Divisi Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah