Jumat, 14 Februari 2020

Jadikanlah kita terkenal di langit

Oleh: Drs. H. Alif Syarifudin, M. Hum

يُثَبِّتُ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ ۖ وَيُضِلُّ اللَّهُ الظَّالِمِينَ ۚ وَيَفْعَلُ اللَّهُ مَا يَشَاءُ

Qs. 14: 27
27. Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh (dalam kehidupan) di dunia dan di akhirat; dan Allah menyesatkan orang-orang yang zalim dan Allah berbuat apa yang Dia kehendaki.

Tafsirnya;
Ayat ini mengajarkan kita bagaimana agar saat kita meninggal dunia bisa mengakhirinya dg kalimat
لااله الا الله
Sebelum hamba yg beriman meninggal dunia turunlah para malaikat dari langit yg berparas putih cerah bagaikan sinar matahari. Para malaikat membawa kain kafan dari surga beserta hanuth (resep bak minyak wangi khusus dari surga) malaikat datang sebanyak sejauh mata memandang.

1. Datanglah malakul maut sambil berkata, "keluarlah wahai ruh yg baik, penuhi panggilan Alloh utk mendapat ampunan dan ridho-Nya"
2. Ruh orang beriman menjawab, "Aku siap memenuhi seruanmu"
3. Keluarlah ruh orang beriman bagaikan tetesan air dari mulut tempat air
4. Ketika ruh orang beriman keluar, seketika itu pula para Malaikat yang ada di dekatnya, langsung mengambil dan meletakkan ruhnya ke dalam kain kafan dari surga dan hanuuth
5. Ruh org beriman dibawanya ke langit. Sepanjang perjalanan antara bumi dan langit sekumpulan malaikat lain bertanya, "Siapakah ruh yang sangat wangi ini?" Kemudian para malaikat yg membawa menyebutkan nama org yg punya ruh ini dg nama yg paling baik yg pernah diberikan manusia semasa hidupnya.
6. Setibanya di langit pertàma, malaikat pengiring ruh org beriman minta dibukakan pintu langit. Karena ruh itu sdh terkenal di langit maka dibukalah pintu langit pertama, kemudian secara bersama-sama mengantarkan ke langit berikutnya hingga langit ke tujuh.
7. Alloh berfirman,
Tulislah catatan hidup hamba-KU ini di  dalam Surga
'Illiyyin (tempat yg paling tinggi), lalu kembalilah ruh itu ke bumi atas perintah Alloh
8. Setelah ruh itu dikembalikan ke jasadnya, datanglah dua malaikat. Itulah malaikat Munkar Nakir.....
Kedua Malaikat itu mendudukannya seraya bertanya,......

bersambung ...

Kamis, 06 Februari 2020

Eksistensi Tuhan, Surga dan Neraka

Beberapa waktu yang lalu, dalam sebuah acara wawancara eksklusif, yang diunggah dalam You Tube, ada seorang pemuda yang menyatakan bahwa dirinya tidak percaya dengan adanya Tuhan, apalagi surga dan neraka. Hal ini dapat dinilai cukup mengejutkan, karena latar belakang dari pemuda yang mengucapkan kata tersebut memiliki keterkaitan yang cukup sangat erat dengan Islam. Akan tetapi, menurut pernyataannya, karena ada suatu peristiwa yang sangat membekas di dalam hatinya, maka hal itu membuatnya tidak lagi mempercayai adanya Tuhan, bahkan mengingingkari adanya surga dan neraka.
Lalu, pada suatu kesempatan, ada sebuah pertanyaan dari pewawancara tentang perihal gadis yang ingin dinikahi oleh pemuda tersebut. Jawaban yang keluar dari pemuda tersebut cukup mencenggangkan. Pemuda tersebut menyelipkan kata “Aamiin” pada jawaban yang diutarakannya. Hal ini seakan menggambarkan bahwa beliau sedang sangat berharap, tetapi beliau tidak bisa menjamin sepenuhnya itu terjadi, maka muncullah kata “Aamiin”. Padahal sebagai seorang yang menyatakan dirinya tidak percaya dengan keberadaan Tuhan, kata tersebut tidaklah pantas keluar dari perkataannya. Hal ini jelas karena kata “Aamiin” adalah sebuah doa harapan seseorang agar keinginannya terpenuhi, maka otomatis kata tersebut pastinya ditujukan kepada “Sosok” yang Maha Mampu untuk mengabulkan semuanya. Oleh karena itu, ketika beliau mengatakan kata “Aamiin”, kepada siapakah kata tersebut ditujukan? padahal beliau sendiri tidak mempercayai adanya Tuhan.
Melalui kisah tersebut, banyak pelajaran yang dapat diambil darinya. Pelajaran pertama, bahwa manusia adalah makhluk yang lemah. Bagaimanapun seorang manusia mengira bahwa dirinya hebat, kuat dan bahkan tak terkalahkan, tidak akan mengubah fakta bahwa manusia adalah sosok makhluk yang lemah. Bahkan dalam ilmu sosiologi, manusia dikatakan sebagai makhluk social, yaitu makhluk yang tidak dapat hidup tanpa bantuan makhluk atau manusia lainnya. Dalam sejarah manusia, dari manusia paling awal, yaitu Nabi Adam as, hingga sekarang tidak ada seorang manusiapun yang dapat hidup di tengah gurun pasir sendirian. Manusia pasti membutuhkan makhluk atau manusia lain untuk hidup, bahkan Nabi Adam as pun membutuhkan istrinya Hawa untuk hidup. Hal ini dibuktikan dengan pencarian Nabi Adam as terhadap Hawa. Begitu pula ketika sakit, manusia butuh pertolongan dari manusia lain, bahkan untuk makan dan minum serta pakaian yang dikenakan, tidak dapat dihitung seberapa banyak manusia yang terlibat dalam prosesnya. Hal ini menggambarkan dengan jelas bahwa manusia adalah makhluk yang lemah, bahkan untuk kehidupan sehari-harinya manusia membutuhkan bantuan makhluk atau manusia lain, apalagi dalam urusan kepuasan dan ketenangan batin. Sangatlah jelas bahwa manusia sangat membutuhkan “Sosok” yang menjadi tempat bergantung, sehingga kepuasan, ketenangan dan kebutuhan batin serta jasmani terpenuhi. “Sosok” yang mampu dijadikan tempat bergantung itulah yang disebut Tuhan. Oleh karena itu, tidaklah dapat dipungkiri bahwa Tuhan itu ada, karena jelas manusia sesombong apapun dia, dengan menganggap dirinya tidak butuh “Sosok” yang dianggap Tuhan, pada suatu titik, manusia akan membutuhkan “Sosok” yang dianggap mampu untuk menyelesaikan permasalahan hidup dan menjadi tempat bergantungnya.
Adapun Tuhan yang tepat menjadi tempat bergantung manusia pastinya haruslah lebih baik dalam segala hal, daripada manusia itu sendiri, baik itu dalam hal kemampuan, kekayaan dan sebagainya. Hal ini dikarenakan Tuhan akan menjadi tempat meminta manusia dalam hal apapun. Oleh karena itu, Tuhan haruslah dianggap luar biasa oleh manusia yang akan memintanya. Sesuatu yang dianggap biasa, tidaklah pantas disebut Tuhan, sebagai tempat bergantung dalam segala hal. Oleh karena itu, ketika manusia takjub dengan sesuatu yang dianggapnya mampu untuk memberikan kehidupan dan menghadirkan keajaiban, itulah “Sosok” yang dianggap Tuhan.
Berdasarkan hal tersebut, maka manusia banyak yang menjadikan matahari sebagai Tuhan, karena tanpa matahari tidak ada kehidupan di dunia ini. Begitu juga bulan yang indah, bintang, hutan dan laut yang memberikan kehidupan bagi orang-orang di sekitarnya, bahkan manusia yang memiliki keagungan dan kekuasaan, serta manusia yang dikatakan sebagai anak Tuhan, dan sebagainya. Dari semua yang sudah disebutkan dan dianggap sebagai Tuhan oleh manusia, jika diperhatikan dengan seksama, maka semua itu tidaklah pantas disebut Tuhan. Hal ini dikarenakan setiap dari sesuatu yang telah disebutkan, membutuhkan sesuatu yang lain untuk memberikan manfaat atau membuat keajaiban bagi manusia. Matahari tidak akan mampu untuk membuat tumbuhan, hewan, bahkan manusia untuk hidup, jika tidak ada air. Begitu juga bulan yang tidak akan menjadi indah tanpa bantuan matahari, hutan dan laut tanpa bantuan dari matahari tidak akan memberikan manfaat bagi manusia. Pada intinya, jika semua itu sama dengan manusia yang tidak mampu hidup dengan bantuan dari makhluk atau manusia lain, pantaskah sesuatu itu disebut dan dianggap sebagai Tuhan? Tentu saja tidak.
Berdasarkan kesepakatan tentang deinisi Tuhan, maka dalam agama Islam, “Sosok” Tuhan disebutkan secara sederhana dan gamblang, tetapi sempurna. Artinya dalam agama Islam, “Sosok” Tuhan adalah sama dengan definisi Tuhan yang telah disepakati, meskipun dengan penjelasan yang sederhana. Hal ini berdasarkan sumber pedoman hidup utama umat Islam itu sendiri, yaitu Al-Qur’an, dalam surat Al-Ikhlas ayat 3 dan 4, yaitu “Dia tidak beranak dan tidak diperanakkan”, artinya Dia adalah “Sosok” yang Tunggal, tidak hadir karena ada suatu sebab. “Dan tiada satupun yang menyerupai-Nya”, artinya dalam segala hal Dia adalah “Sosok” yang berbeda dari siapapun. Ciri-ciri inilah yang pantas disebut dengan Tuhan, yang dalam Islam disebut Allah yang Maha Suci dari kekurangan, dan Maha Tinggi kedudukan, derajat dan keagungan-Nya dibandingkan dari semua benda atau makhluk yang disebut tuhan.
Adapun pelajaran kedua yang dapat diambil dari kisah tersebut adalah surga dan neraka pastilah ada. Setiap orang pastilah dituntut untuk melakukan keadilan atau menempatkan sesuatu pada tempatnya. Lalu bagaimana dengan Allah SWT? Pastinya Allah SWT juga memiliki keadilan. Jika keadlian manusia terkadang terasa janggal , maka Allah SWT sebagai Tuhan pastinya sifat  keadilan-Nya lebih baik atau sempurna daripada siapapun, termasuk manusia. Oleh karena itu, surga dan neraka adalah salah satu bentuk keadilan Allah SWT. Hal ini dikarenakan Allah SWT tidak mungkin menyamakan seorang yang berbuat kebaikan dengan keburukan. Dua hal ini jelas sangatlah bertentangan, sehingga tidak mungkin Allah SWT menyamakan kedua hal itu. Allah SWT sebagai pencipta seluruh alam semesta mempunyai hukum atau aturan main, sehingga haruslah diikuti aturan mainnya, karena memang Allah SWT lah yang menciptakan permainan ini. Ketika ada seseorang menyalahi sebuah aturan yang sudah Allah SWT buat, adalah sebuah keadilan dari Allah SWT, ketika Dia menyatakan bahwa seseorang tersebut telah bersalah, begitupun ketika seseorang melakukan permainan ini dengan benar, dengan tidak menyalahi hukum atau aturan main, maka adalah sebuah keadilan dari Allah SWT, ketika Dia menyatakan bahwa seseorang tersebut tidak bersalah. Lalu, sebagai konsekuensi bagi orang yang telah menyalahi aturan, Allah SWT akan menghukumnya dengan memasukkannya ke dalam neraka, begitu pula ketika seseorang yang melakukan permainan dengan benar, maka konsekuensinya Allah SWT akan memberikan hadiah untuknya, dengan memasukkannya ke dalam surga. Bukankah ini semua masuk akal?


Muhammad Fajrul Falakh W, S.Pd.I.
Penulis pengasuh Ponpes MBS
Lasem – Rembang.

Jumat, 17 Januari 2020

Dahsyatnya Kalimat Laa Ilaaha Illallah


Pada dasarnya, setiap orang akan merasakan keinginan untuk lebih dekat dengan orang yang dicintai atau disukainya. Sebagaimana rasa ingin selalu dekatnya anak terhadap ibunya, begitupun sebaliknya. Hal ini memanglah manusiawi, karena memang manusia adalah makhluk yang memiliki emosi, sehingga muncullah dalam hati manusia rasa suka, sedih, cinta, marah dan sebagainya. Adapun langkah kongkrit atau nyata dari perasaan emosional cinta adalah manusia ingin selalu mendekati orang yang dicintainya. Hal ini berlaku bagi semua orang, tak terkecuali Nabi Musa as.

Nabi Musa as, banyak di antara kalangan umat Islam yang mengenal beliau adalah pribadi yang “keras” dan “temperamental”. Hal ini memang tidak dapat dipungkiri, karena memang bisa dikatakan benar adanya. Namun, kata “keras” dan “temperamental” yang disematkan pada Nabi Musa as sekonyong-konyong dikonotasikan atau dimaknai sebagai pribadi atau watak yang tercela. Hal ini dikarenakan latar belakang masyarakat dakwahnya yang sebagian besar dikenal juga sebagai “pembangkang ulung”, sehingga apabila Nabi Musa as tidak “keras” dalam mendidik mereka, dan tidak memiliki sifat “temperamental” ketika sebagian masyarakat dakwahnya melecehkan Allah SWT, maka yang terjadi adalah bertambahnya kesombongan masyarakat dakwahnya. Oleh karena itu, konotasi atau makna pribadi yang “keras” dan “temperamental” pada Nabi Musa as sebenarnya adalah wujud nyata dari perasaan emosional cintanya kepada Allah SWT. Nabi Musa as tidak mau masyarakat dakwahnya menjauh dari Dzat yang sangat dicintainya itu. Nabi Musa as tidak mau Dzat yang sangat dicintainya atau perintah dan aturan-Nya dilecehkan oleh masyarakat dakwahnya sendiri.
Meskipun Nabi Musa as sudah berusaha untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT lewat dakwahnya, yaitu dengan mendidik masyarakat dakwahnya, Nabi Musa as tidak ingin berpuas diri. 

Beliau masih ingin lebih dekat lagi dengan Dzat yang sangat dicintainya itu. Hal ini wajar, karena memang Nabi Musa as, selain dengan dakwahnya, yang menjadi cara untuk mendekatkan dirinya kepada Allah SWT, adalah salah satu dari dua Nabi dan Rasul yang diberikan keistimewaan untuk berkomunikasi langsung dengan Allah SWT, Tuhan semesta alam dan yang mengutusnya untuk menjadi penerang umat. Oleh karena itu, adalah sebuah kewajaran ketika seseorang mempunyai keistimewaan pada dirinya, seseorang tersebut ingin menjadi lebih baik daripada orang lain, dalam makna kebaikan, bukan sebaliknya.

Rasulullah saw mengabadikan salah satu percakapan antara Nabi Musa as dengan Allah SWT, tentang harapan Nabi Musa as agar Allah SWT memberikan sesuatu yang dapat membuatnya lebih dekat lagi kepada-Nya. Harapan beliau, yaitu Nabi Muhammad saw, pastinya ketika mengisahkan percakapan antara Nabi Musa as dengan Allah SWT, akan memberikan dampak yang baik bagi seluruh umatnya. Oleh karena itu, sebagai umat Nabi Muhammad saw sudah sepatutnya menghayati dan mentadabburi kisah Nabi Musa as, yang diceritakan oleh nabi Muhammad saw dalam hadisnya. Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Sa’id Al-Khudriy, hingga tertulis dalam kitab hadis Hakim dan Ibnu Hibban. Nabi Musa as berkata: “Wahai Tuhanku, ajarkanlah kepadaku akan sesuatu, sehingga dengan sesuatu itu aku berdzikir dan berdoa kepada-Mu”, kemudian Allah SWT berfirman: “Hai Musa, ucapkanlah “Laa Ilaaha Illallah”. Musa berkata: “Wahai Tuhanku, setiap hamba-Mu mengucapkan hal ini. Allah SWT berfirman: “Hai Musa, seandainya langit yang berjumlah tujuh serta seluruh penghuninya, selain Aku, dan bumi yang berjumlah tujuh diletakkan dalam satu timbangan, kemudian kalimat “Laa Ilaaha Illallaah” dalam satu timbangan lainnya, maka kalimat “Laa Ilaaha Illallaah” akan lebih berat timbangannya.

Hadis ini menggambarkan betapa agungnya kalimat tauhid, bahkan untuk seluruh alam semesta kecuali Allah SWT tidaklah sebanding dengannya. Padahal untuk mengarungi seluruh alam semesta tidaklah cukup dengan waktu setahun atau dua tahun, tetapi lebih dari puluhan ribu tahun lamanya. Bahkan akal seorang manusia sendiri tidak akan mampu untuk membayangkan bagaiman batas dari alam semesta itu. Hal ini menggambarkan betapa besarnya kalimat tersebut, sehingga dengan langit dan bumi serta segala isinya lebih agung keagungannya. Selain itu, kalimat tauhid adalah sesuatu yang paling agung di sisi Allah SWT. Hal ini berdasarkan jawaban Allah SWT atas aduan Nabi Musa as yang mengatakan bahwa setiap hamba Allah SWT juga pasti mengucapkan kalimat tauhid. Selain menjadi kalimat yang paling agung di sisi Allah SWT, kalimat tauhid adalah ucapan yang paling baik untuk mengingat dan berdoa kepada Allah SWT. Ketika ada suatu ucapan yang paling disuaki oleh Allah SWT, kemudian seseorang menggunakannya untuk berdoa, maka adalah sebuah keniscayaan Allah SWT menolak doa seseorang tersebut. Oleh karena itu, gunakanlah kesempatan ini untuk menambah pahala dan keterkabulan doa, yaitu dengan mengucapkan kalimat tauhid.

Meskipun kalimat tauhid adalah ucapan yang sederhana, bukan berarti saat mengucapkan kalimat tersebut tanpa adanya sebuah penghayatan alias sebuah respon biasa. Hal ini dikarenakan pada kalimat tersebut menandakan bahwa seorang hamba benar-benar menyatakan diri bahwa dia tidak menyembah Tuhan selain Allah SWT, serta bersedia untuk mengikuti seluruh tuntunan-Nya dan menjauhi larangan-nya. Oleh karena itu, meskipun ketika seorang hamba sudah menyatakan ucapan itu berkali-kali dalam doanya, tetapi dia masih berbuat syirik, maka jelas Allah SWT tidak akan mengabulahn doanya. Begitu juga ketika seorang hamba sudah menucapkan kalimat tauhid di setiap doanya, tetapi dia masih memakan barang-barang yang bersifat haram, yang termasuk larangan Allah SWT, maka sudah pasti Allah SWT tidak akan mengabulkan doanya. Berdasarkan hal ini, maka yang menjadi cermin ketika doa dan keberkahan tidak didapati dalam diri, adalah hati dan diri sendiri, sudahkah diri ini menyatakan dengan benar-benar kalimat tauhid ataukah belum? 

Muh. Fajrul Falakh W
Pengasuh Ponpes MBS Lasem Rembang