Beberapa waktu yang lalu, dalam
sebuah acara wawancara eksklusif, yang diunggah dalam You Tube, ada seorang
pemuda yang menyatakan bahwa dirinya tidak percaya dengan adanya Tuhan, apalagi
surga dan neraka. Hal ini dapat dinilai cukup mengejutkan, karena latar
belakang dari pemuda yang mengucapkan kata tersebut memiliki keterkaitan yang cukup
sangat erat dengan Islam. Akan tetapi, menurut pernyataannya, karena ada suatu
peristiwa yang sangat membekas di dalam hatinya, maka hal itu membuatnya tidak
lagi mempercayai adanya Tuhan, bahkan mengingingkari adanya surga dan neraka.
Lalu, pada suatu
kesempatan, ada sebuah pertanyaan dari pewawancara tentang perihal gadis yang
ingin dinikahi oleh pemuda tersebut. Jawaban yang keluar dari pemuda tersebut cukup
mencenggangkan. Pemuda tersebut menyelipkan kata “Aamiin” pada jawaban yang
diutarakannya. Hal ini seakan menggambarkan bahwa beliau sedang sangat
berharap, tetapi beliau tidak bisa menjamin sepenuhnya itu terjadi, maka
muncullah kata “Aamiin”. Padahal sebagai seorang yang menyatakan dirinya tidak
percaya dengan keberadaan Tuhan, kata tersebut tidaklah pantas keluar dari
perkataannya. Hal ini jelas karena kata “Aamiin” adalah sebuah doa harapan
seseorang agar keinginannya terpenuhi, maka otomatis kata tersebut pastinya
ditujukan kepada “Sosok” yang Maha Mampu untuk mengabulkan semuanya. Oleh
karena itu, ketika beliau mengatakan kata “Aamiin”, kepada siapakah kata
tersebut ditujukan? padahal beliau sendiri tidak mempercayai adanya Tuhan.
Melalui kisah
tersebut, banyak pelajaran yang dapat diambil darinya. Pelajaran pertama, bahwa
manusia adalah makhluk yang lemah. Bagaimanapun seorang manusia mengira bahwa
dirinya hebat, kuat dan bahkan tak terkalahkan, tidak akan mengubah fakta bahwa
manusia adalah sosok makhluk yang lemah. Bahkan dalam ilmu sosiologi, manusia
dikatakan sebagai makhluk social, yaitu makhluk yang tidak dapat hidup tanpa
bantuan makhluk atau manusia lainnya. Dalam sejarah manusia, dari manusia
paling awal, yaitu Nabi Adam as, hingga sekarang tidak ada seorang manusiapun
yang dapat hidup di tengah gurun pasir sendirian. Manusia pasti membutuhkan
makhluk atau manusia lain untuk hidup, bahkan Nabi Adam as pun membutuhkan istrinya
Hawa untuk hidup. Hal ini dibuktikan dengan pencarian Nabi Adam as terhadap
Hawa. Begitu pula ketika sakit, manusia butuh pertolongan dari manusia lain,
bahkan untuk makan dan minum serta pakaian yang dikenakan, tidak dapat dihitung
seberapa banyak manusia yang terlibat dalam prosesnya. Hal ini menggambarkan
dengan jelas bahwa manusia adalah makhluk yang lemah, bahkan untuk kehidupan
sehari-harinya manusia membutuhkan bantuan makhluk atau manusia lain, apalagi
dalam urusan kepuasan dan ketenangan batin. Sangatlah jelas bahwa manusia
sangat membutuhkan “Sosok” yang menjadi tempat bergantung, sehingga kepuasan,
ketenangan dan kebutuhan batin serta jasmani terpenuhi. “Sosok” yang mampu
dijadikan tempat bergantung itulah yang disebut Tuhan. Oleh karena itu,
tidaklah dapat dipungkiri bahwa Tuhan itu ada, karena jelas manusia sesombong
apapun dia, dengan menganggap dirinya tidak butuh “Sosok” yang dianggap Tuhan,
pada suatu titik, manusia akan membutuhkan “Sosok” yang dianggap mampu untuk
menyelesaikan permasalahan hidup dan menjadi tempat bergantungnya.
Adapun Tuhan
yang tepat menjadi tempat bergantung manusia pastinya haruslah lebih baik dalam
segala hal, daripada manusia itu sendiri, baik itu dalam hal kemampuan,
kekayaan dan sebagainya. Hal ini dikarenakan Tuhan akan menjadi tempat meminta
manusia dalam hal apapun. Oleh karena itu, Tuhan haruslah dianggap luar biasa
oleh manusia yang akan memintanya. Sesuatu yang dianggap biasa, tidaklah pantas
disebut Tuhan, sebagai tempat bergantung dalam segala hal. Oleh karena itu,
ketika manusia takjub dengan sesuatu yang dianggapnya mampu untuk memberikan
kehidupan dan menghadirkan keajaiban, itulah “Sosok” yang dianggap Tuhan.
Berdasarkan hal
tersebut, maka manusia banyak yang menjadikan matahari sebagai Tuhan, karena tanpa
matahari tidak ada kehidupan di dunia ini. Begitu juga bulan yang indah,
bintang, hutan dan laut yang memberikan kehidupan bagi orang-orang di
sekitarnya, bahkan manusia yang memiliki keagungan dan kekuasaan, serta manusia
yang dikatakan sebagai anak Tuhan, dan sebagainya. Dari semua yang sudah
disebutkan dan dianggap sebagai Tuhan oleh manusia, jika diperhatikan dengan
seksama, maka semua itu tidaklah pantas disebut Tuhan. Hal ini dikarenakan setiap
dari sesuatu yang telah disebutkan, membutuhkan sesuatu yang lain untuk
memberikan manfaat atau membuat keajaiban bagi manusia. Matahari tidak akan
mampu untuk membuat tumbuhan, hewan, bahkan manusia untuk hidup, jika tidak ada
air. Begitu juga bulan yang tidak akan menjadi indah tanpa bantuan matahari, hutan
dan laut tanpa bantuan dari matahari tidak akan memberikan manfaat bagi
manusia. Pada intinya, jika semua itu sama dengan manusia yang tidak mampu
hidup dengan bantuan dari makhluk atau manusia lain, pantaskah sesuatu itu disebut
dan dianggap sebagai Tuhan? Tentu saja tidak.
Berdasarkan
kesepakatan tentang deinisi Tuhan, maka dalam agama Islam, “Sosok” Tuhan
disebutkan secara sederhana dan gamblang, tetapi sempurna. Artinya dalam agama
Islam, “Sosok” Tuhan adalah sama dengan definisi Tuhan yang telah disepakati,
meskipun dengan penjelasan yang sederhana. Hal ini berdasarkan sumber pedoman
hidup utama umat Islam itu sendiri, yaitu Al-Qur’an, dalam surat Al-Ikhlas ayat
3 dan 4, yaitu “Dia tidak beranak dan tidak diperanakkan”, artinya Dia adalah
“Sosok” yang Tunggal, tidak hadir karena ada suatu sebab. “Dan tiada satupun
yang menyerupai-Nya”, artinya dalam segala hal Dia adalah “Sosok” yang berbeda
dari siapapun. Ciri-ciri inilah yang pantas disebut dengan Tuhan, yang dalam
Islam disebut Allah yang Maha Suci dari kekurangan, dan Maha Tinggi kedudukan,
derajat dan keagungan-Nya dibandingkan dari semua benda atau makhluk yang
disebut tuhan.
Adapun pelajaran kedua yang dapat diambil dari
kisah tersebut adalah surga dan neraka pastilah ada. Setiap orang pastilah
dituntut untuk melakukan keadilan atau menempatkan sesuatu pada tempatnya. Lalu
bagaimana dengan Allah SWT? Pastinya Allah SWT juga memiliki keadilan. Jika
keadlian manusia terkadang terasa janggal , maka Allah SWT sebagai Tuhan
pastinya sifat keadilan-Nya lebih baik atau
sempurna daripada siapapun, termasuk manusia. Oleh karena itu, surga dan neraka
adalah salah satu bentuk keadilan Allah SWT. Hal ini dikarenakan Allah SWT
tidak mungkin menyamakan seorang yang berbuat kebaikan dengan keburukan. Dua
hal ini jelas sangatlah bertentangan, sehingga tidak mungkin Allah SWT
menyamakan kedua hal itu. Allah SWT sebagai pencipta seluruh alam semesta mempunyai
hukum atau aturan main, sehingga haruslah diikuti aturan mainnya, karena memang
Allah SWT lah yang menciptakan permainan ini. Ketika ada seseorang menyalahi
sebuah aturan yang sudah Allah SWT buat, adalah sebuah keadilan dari Allah SWT,
ketika Dia menyatakan bahwa seseorang tersebut telah bersalah, begitupun ketika
seseorang melakukan permainan ini dengan benar, dengan tidak menyalahi hukum
atau aturan main, maka adalah sebuah keadilan dari Allah SWT, ketika Dia
menyatakan bahwa seseorang tersebut tidak bersalah. Lalu, sebagai konsekuensi
bagi orang yang telah menyalahi aturan, Allah SWT akan menghukumnya dengan
memasukkannya ke dalam neraka, begitu pula ketika seseorang yang melakukan
permainan dengan benar, maka konsekuensinya Allah SWT akan memberikan hadiah
untuknya, dengan memasukkannya ke dalam surga. Bukankah ini semua masuk akal?
Muhammad Fajrul Falakh W, S.Pd.I.
Penulis pengasuh
Ponpes MBS
Lasem – Rembang.