Pada
dasarnya, setiap orang akan merasakan keinginan untuk lebih dekat dengan orang
yang dicintai atau disukainya. Sebagaimana rasa ingin selalu dekatnya anak
terhadap ibunya, begitupun sebaliknya. Hal ini memanglah manusiawi, karena
memang manusia adalah makhluk yang memiliki emosi, sehingga muncullah dalam
hati manusia rasa suka, sedih, cinta, marah dan sebagainya. Adapun langkah
kongkrit atau nyata dari perasaan emosional cinta adalah manusia ingin selalu
mendekati orang yang dicintainya. Hal ini berlaku bagi semua orang, tak
terkecuali Nabi Musa as.
Nabi
Musa as, banyak di antara kalangan umat Islam yang mengenal beliau adalah
pribadi yang “keras” dan “temperamental”. Hal ini memang tidak dapat
dipungkiri, karena memang bisa dikatakan benar adanya. Namun, kata “keras” dan
“temperamental” yang disematkan pada Nabi Musa as sekonyong-konyong
dikonotasikan atau dimaknai sebagai pribadi atau watak yang tercela. Hal ini
dikarenakan latar belakang masyarakat dakwahnya yang sebagian besar dikenal
juga sebagai “pembangkang ulung”, sehingga apabila Nabi Musa as tidak “keras”
dalam mendidik mereka, dan tidak memiliki sifat “temperamental” ketika sebagian
masyarakat dakwahnya melecehkan Allah SWT, maka yang terjadi adalah bertambahnya
kesombongan masyarakat dakwahnya. Oleh karena itu, konotasi atau makna pribadi
yang “keras” dan “temperamental” pada Nabi Musa as sebenarnya adalah wujud
nyata dari perasaan emosional cintanya kepada Allah SWT. Nabi Musa as tidak mau
masyarakat dakwahnya menjauh dari Dzat yang sangat dicintainya itu. Nabi Musa
as tidak mau Dzat yang sangat dicintainya atau perintah dan aturan-Nya
dilecehkan oleh masyarakat dakwahnya sendiri.
Meskipun
Nabi Musa as sudah berusaha untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT lewat
dakwahnya, yaitu dengan mendidik masyarakat dakwahnya, Nabi Musa as tidak ingin
berpuas diri.
Beliau masih ingin lebih dekat lagi dengan Dzat yang sangat
dicintainya itu. Hal ini wajar, karena memang Nabi Musa as, selain dengan
dakwahnya, yang menjadi cara untuk mendekatkan dirinya kepada Allah SWT, adalah
salah satu dari dua Nabi dan Rasul yang diberikan keistimewaan untuk
berkomunikasi langsung dengan Allah SWT, Tuhan semesta alam dan yang
mengutusnya untuk menjadi penerang umat. Oleh karena itu, adalah sebuah
kewajaran ketika seseorang mempunyai keistimewaan pada dirinya, seseorang
tersebut ingin menjadi lebih baik daripada orang lain, dalam makna kebaikan,
bukan sebaliknya.
Rasulullah
saw mengabadikan salah satu percakapan antara Nabi Musa as dengan Allah SWT,
tentang harapan Nabi Musa as agar Allah SWT memberikan sesuatu yang dapat
membuatnya lebih dekat lagi kepada-Nya. Harapan beliau, yaitu Nabi Muhammad
saw, pastinya ketika mengisahkan percakapan antara Nabi Musa as dengan Allah
SWT, akan memberikan dampak yang baik bagi seluruh umatnya. Oleh karena itu,
sebagai umat Nabi Muhammad saw sudah sepatutnya menghayati dan mentadabburi
kisah Nabi Musa as, yang diceritakan oleh nabi Muhammad saw dalam hadisnya. Hadis
ini diriwayatkan oleh Abu Sa’id Al-Khudriy, hingga tertulis dalam kitab hadis
Hakim dan Ibnu Hibban. Nabi Musa as berkata: “Wahai Tuhanku, ajarkanlah
kepadaku akan sesuatu, sehingga dengan sesuatu itu aku berdzikir dan berdoa
kepada-Mu”, kemudian Allah SWT berfirman: “Hai Musa, ucapkanlah “Laa Ilaaha
Illallah”. Musa berkata: “Wahai Tuhanku, setiap hamba-Mu mengucapkan hal ini.
Allah SWT berfirman: “Hai Musa, seandainya langit yang berjumlah tujuh serta
seluruh penghuninya, selain Aku, dan bumi yang berjumlah tujuh diletakkan dalam
satu timbangan, kemudian kalimat “Laa Ilaaha Illallaah” dalam satu timbangan
lainnya, maka kalimat “Laa Ilaaha Illallaah” akan lebih berat timbangannya.
Hadis
ini menggambarkan betapa agungnya kalimat tauhid, bahkan untuk seluruh alam
semesta kecuali Allah SWT tidaklah sebanding dengannya. Padahal untuk
mengarungi seluruh alam semesta tidaklah cukup dengan waktu setahun atau dua
tahun, tetapi lebih dari puluhan ribu tahun lamanya. Bahkan akal seorang
manusia sendiri tidak akan mampu untuk membayangkan bagaiman batas dari alam
semesta itu. Hal ini menggambarkan betapa besarnya kalimat tersebut, sehingga
dengan langit dan bumi serta segala isinya lebih agung keagungannya. Selain
itu, kalimat tauhid adalah sesuatu yang paling agung di sisi Allah SWT. Hal ini
berdasarkan jawaban Allah SWT atas aduan Nabi Musa as yang mengatakan bahwa
setiap hamba Allah SWT juga pasti mengucapkan kalimat tauhid. Selain menjadi
kalimat yang paling agung di sisi Allah SWT, kalimat tauhid adalah ucapan yang
paling baik untuk mengingat dan berdoa kepada Allah SWT. Ketika ada suatu
ucapan yang paling disuaki oleh Allah SWT, kemudian seseorang menggunakannya
untuk berdoa, maka adalah sebuah keniscayaan Allah SWT menolak doa seseorang
tersebut. Oleh karena itu, gunakanlah kesempatan ini untuk menambah pahala dan
keterkabulan doa, yaitu dengan mengucapkan kalimat tauhid.
Meskipun
kalimat tauhid adalah ucapan yang sederhana, bukan berarti saat mengucapkan
kalimat tersebut tanpa adanya sebuah penghayatan alias sebuah respon biasa. Hal
ini dikarenakan pada kalimat tersebut menandakan bahwa seorang hamba
benar-benar menyatakan diri bahwa dia tidak menyembah Tuhan selain Allah SWT,
serta bersedia untuk mengikuti seluruh tuntunan-Nya dan menjauhi larangan-nya.
Oleh karena itu, meskipun ketika seorang hamba sudah menyatakan ucapan itu
berkali-kali dalam doanya, tetapi dia masih berbuat syirik, maka jelas Allah
SWT tidak akan mengabulahn doanya. Begitu juga ketika seorang hamba sudah
menucapkan kalimat tauhid di setiap doanya, tetapi dia masih memakan barang-barang
yang bersifat haram, yang termasuk larangan Allah SWT, maka sudah pasti Allah
SWT tidak akan mengabulkan doanya. Berdasarkan hal ini, maka yang menjadi
cermin ketika doa dan keberkahan tidak didapati dalam diri, adalah hati dan
diri sendiri, sudahkah diri ini menyatakan dengan benar-benar kalimat tauhid
ataukah belum?
Muh. Fajrul Falakh W
Pengasuh Ponpes MBS Lasem Rembang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar