Kamis, 06 Februari 2020

Eksistensi Tuhan, Surga dan Neraka

Beberapa waktu yang lalu, dalam sebuah acara wawancara eksklusif, yang diunggah dalam You Tube, ada seorang pemuda yang menyatakan bahwa dirinya tidak percaya dengan adanya Tuhan, apalagi surga dan neraka. Hal ini dapat dinilai cukup mengejutkan, karena latar belakang dari pemuda yang mengucapkan kata tersebut memiliki keterkaitan yang cukup sangat erat dengan Islam. Akan tetapi, menurut pernyataannya, karena ada suatu peristiwa yang sangat membekas di dalam hatinya, maka hal itu membuatnya tidak lagi mempercayai adanya Tuhan, bahkan mengingingkari adanya surga dan neraka.
Lalu, pada suatu kesempatan, ada sebuah pertanyaan dari pewawancara tentang perihal gadis yang ingin dinikahi oleh pemuda tersebut. Jawaban yang keluar dari pemuda tersebut cukup mencenggangkan. Pemuda tersebut menyelipkan kata “Aamiin” pada jawaban yang diutarakannya. Hal ini seakan menggambarkan bahwa beliau sedang sangat berharap, tetapi beliau tidak bisa menjamin sepenuhnya itu terjadi, maka muncullah kata “Aamiin”. Padahal sebagai seorang yang menyatakan dirinya tidak percaya dengan keberadaan Tuhan, kata tersebut tidaklah pantas keluar dari perkataannya. Hal ini jelas karena kata “Aamiin” adalah sebuah doa harapan seseorang agar keinginannya terpenuhi, maka otomatis kata tersebut pastinya ditujukan kepada “Sosok” yang Maha Mampu untuk mengabulkan semuanya. Oleh karena itu, ketika beliau mengatakan kata “Aamiin”, kepada siapakah kata tersebut ditujukan? padahal beliau sendiri tidak mempercayai adanya Tuhan.
Melalui kisah tersebut, banyak pelajaran yang dapat diambil darinya. Pelajaran pertama, bahwa manusia adalah makhluk yang lemah. Bagaimanapun seorang manusia mengira bahwa dirinya hebat, kuat dan bahkan tak terkalahkan, tidak akan mengubah fakta bahwa manusia adalah sosok makhluk yang lemah. Bahkan dalam ilmu sosiologi, manusia dikatakan sebagai makhluk social, yaitu makhluk yang tidak dapat hidup tanpa bantuan makhluk atau manusia lainnya. Dalam sejarah manusia, dari manusia paling awal, yaitu Nabi Adam as, hingga sekarang tidak ada seorang manusiapun yang dapat hidup di tengah gurun pasir sendirian. Manusia pasti membutuhkan makhluk atau manusia lain untuk hidup, bahkan Nabi Adam as pun membutuhkan istrinya Hawa untuk hidup. Hal ini dibuktikan dengan pencarian Nabi Adam as terhadap Hawa. Begitu pula ketika sakit, manusia butuh pertolongan dari manusia lain, bahkan untuk makan dan minum serta pakaian yang dikenakan, tidak dapat dihitung seberapa banyak manusia yang terlibat dalam prosesnya. Hal ini menggambarkan dengan jelas bahwa manusia adalah makhluk yang lemah, bahkan untuk kehidupan sehari-harinya manusia membutuhkan bantuan makhluk atau manusia lain, apalagi dalam urusan kepuasan dan ketenangan batin. Sangatlah jelas bahwa manusia sangat membutuhkan “Sosok” yang menjadi tempat bergantung, sehingga kepuasan, ketenangan dan kebutuhan batin serta jasmani terpenuhi. “Sosok” yang mampu dijadikan tempat bergantung itulah yang disebut Tuhan. Oleh karena itu, tidaklah dapat dipungkiri bahwa Tuhan itu ada, karena jelas manusia sesombong apapun dia, dengan menganggap dirinya tidak butuh “Sosok” yang dianggap Tuhan, pada suatu titik, manusia akan membutuhkan “Sosok” yang dianggap mampu untuk menyelesaikan permasalahan hidup dan menjadi tempat bergantungnya.
Adapun Tuhan yang tepat menjadi tempat bergantung manusia pastinya haruslah lebih baik dalam segala hal, daripada manusia itu sendiri, baik itu dalam hal kemampuan, kekayaan dan sebagainya. Hal ini dikarenakan Tuhan akan menjadi tempat meminta manusia dalam hal apapun. Oleh karena itu, Tuhan haruslah dianggap luar biasa oleh manusia yang akan memintanya. Sesuatu yang dianggap biasa, tidaklah pantas disebut Tuhan, sebagai tempat bergantung dalam segala hal. Oleh karena itu, ketika manusia takjub dengan sesuatu yang dianggapnya mampu untuk memberikan kehidupan dan menghadirkan keajaiban, itulah “Sosok” yang dianggap Tuhan.
Berdasarkan hal tersebut, maka manusia banyak yang menjadikan matahari sebagai Tuhan, karena tanpa matahari tidak ada kehidupan di dunia ini. Begitu juga bulan yang indah, bintang, hutan dan laut yang memberikan kehidupan bagi orang-orang di sekitarnya, bahkan manusia yang memiliki keagungan dan kekuasaan, serta manusia yang dikatakan sebagai anak Tuhan, dan sebagainya. Dari semua yang sudah disebutkan dan dianggap sebagai Tuhan oleh manusia, jika diperhatikan dengan seksama, maka semua itu tidaklah pantas disebut Tuhan. Hal ini dikarenakan setiap dari sesuatu yang telah disebutkan, membutuhkan sesuatu yang lain untuk memberikan manfaat atau membuat keajaiban bagi manusia. Matahari tidak akan mampu untuk membuat tumbuhan, hewan, bahkan manusia untuk hidup, jika tidak ada air. Begitu juga bulan yang tidak akan menjadi indah tanpa bantuan matahari, hutan dan laut tanpa bantuan dari matahari tidak akan memberikan manfaat bagi manusia. Pada intinya, jika semua itu sama dengan manusia yang tidak mampu hidup dengan bantuan dari makhluk atau manusia lain, pantaskah sesuatu itu disebut dan dianggap sebagai Tuhan? Tentu saja tidak.
Berdasarkan kesepakatan tentang deinisi Tuhan, maka dalam agama Islam, “Sosok” Tuhan disebutkan secara sederhana dan gamblang, tetapi sempurna. Artinya dalam agama Islam, “Sosok” Tuhan adalah sama dengan definisi Tuhan yang telah disepakati, meskipun dengan penjelasan yang sederhana. Hal ini berdasarkan sumber pedoman hidup utama umat Islam itu sendiri, yaitu Al-Qur’an, dalam surat Al-Ikhlas ayat 3 dan 4, yaitu “Dia tidak beranak dan tidak diperanakkan”, artinya Dia adalah “Sosok” yang Tunggal, tidak hadir karena ada suatu sebab. “Dan tiada satupun yang menyerupai-Nya”, artinya dalam segala hal Dia adalah “Sosok” yang berbeda dari siapapun. Ciri-ciri inilah yang pantas disebut dengan Tuhan, yang dalam Islam disebut Allah yang Maha Suci dari kekurangan, dan Maha Tinggi kedudukan, derajat dan keagungan-Nya dibandingkan dari semua benda atau makhluk yang disebut tuhan.
Adapun pelajaran kedua yang dapat diambil dari kisah tersebut adalah surga dan neraka pastilah ada. Setiap orang pastilah dituntut untuk melakukan keadilan atau menempatkan sesuatu pada tempatnya. Lalu bagaimana dengan Allah SWT? Pastinya Allah SWT juga memiliki keadilan. Jika keadlian manusia terkadang terasa janggal , maka Allah SWT sebagai Tuhan pastinya sifat  keadilan-Nya lebih baik atau sempurna daripada siapapun, termasuk manusia. Oleh karena itu, surga dan neraka adalah salah satu bentuk keadilan Allah SWT. Hal ini dikarenakan Allah SWT tidak mungkin menyamakan seorang yang berbuat kebaikan dengan keburukan. Dua hal ini jelas sangatlah bertentangan, sehingga tidak mungkin Allah SWT menyamakan kedua hal itu. Allah SWT sebagai pencipta seluruh alam semesta mempunyai hukum atau aturan main, sehingga haruslah diikuti aturan mainnya, karena memang Allah SWT lah yang menciptakan permainan ini. Ketika ada seseorang menyalahi sebuah aturan yang sudah Allah SWT buat, adalah sebuah keadilan dari Allah SWT, ketika Dia menyatakan bahwa seseorang tersebut telah bersalah, begitupun ketika seseorang melakukan permainan ini dengan benar, dengan tidak menyalahi hukum atau aturan main, maka adalah sebuah keadilan dari Allah SWT, ketika Dia menyatakan bahwa seseorang tersebut tidak bersalah. Lalu, sebagai konsekuensi bagi orang yang telah menyalahi aturan, Allah SWT akan menghukumnya dengan memasukkannya ke dalam neraka, begitu pula ketika seseorang yang melakukan permainan dengan benar, maka konsekuensinya Allah SWT akan memberikan hadiah untuknya, dengan memasukkannya ke dalam surga. Bukankah ini semua masuk akal?


Muhammad Fajrul Falakh W, S.Pd.I.
Penulis pengasuh Ponpes MBS
Lasem – Rembang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar